In this modern era, the practice of slavery in various forms can be found in multiple places in the world, including in Raja Prailiu Village, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. This practice has been carried out by the Maramba (nobles) against the Ata (servants). This causes injustice and discrimination for the Ata people, who even experience violence, both physical and psychological. This research aims to study why this practice continues to be maintained and perpetuated, as well as propose efforts to break the chain of this kind of slavery so as not to cause further social problems, especially for the Ata. This research uses qualitative methods with a postcolonial approach. Data collection techniques included observation, in-depth interviews, and documentation. This research concerns efforts to eliminate various forms of slavery practices in society, especially in Raja Prailiu Village. This research found that this practice continues to occur because, as subalterns, the Ata’s voices are not heard, their experiences are silenced, and there is no "space" for them to speak out. This research concludes that the voices of the Ata as subalterns need to be heard in public spaces. Abstrak Di era modern seperti sekarang ini, praktik perhambaan dalam berbagai bentuk (tradisional maupun modern) dapat ditemukan di berbagai tempat di dunia, termasuk di Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur - Nusa Tenggara Timur. Praktik ini dilakukan oleh para Maramba (kaum bangsawan) terhadap kaum Ata (hamba). Hal ini menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum Ata yang bahkan mengalami kekerasan, baik fisik maupun psikis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian mengapa praktik tersebut terus dipertahankan dan dilestarikan, serta mengusulkan upaya untuk memutus rantai perhambaan semacam ini agar tidak menimbulkan persoalan sosial lanjutan, terutama bagi kaum Ata. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan poskolonial. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Urgensi dari penelitian ini adalah untuk menghapus segala bentuk praktik perhambaan di masyarakat, khususnya di Kampung Raja Prailiu. Dengan menggunakan teori subaltern dari Gayatri Spivak ditemukan bawah praktik tersebut terus terjadi karena kaum Ata sebagai subaltern suara mereka tidak terdengar, pengalaman mereka dibungkam dan tidak ada “ruang” bagi mereka untuk bersuara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah suara-suara kaum Ata sebagai subaltern perlu diperdengarkan di ruang-ruang publik.