Penelitian ini menganalisis putusan Mahkamah Agung terkait penolakan kasasi dalam perkara pidana lingkungan dan pertambangan yang melibatkan PT Natural Persada Mandiri (PT NPM) pada kasus penambangan nikel ilegal di Konawe Utara. Mahkamah Agung menilai bahwa alasan kasasi baik oleh terdakwa maupun penuntut umum tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti telah tepat dalam menerapkan hukum acara pidana serta menilai secara sah adanya kegiatan penambangan di luar wilayah IUP OP PT Bososi Pratama yang terbukti berada dalam kawasan hutan lindung. Meskipun demikian, Mahkamah Agung memperbaiki putusan sebelumnya terkait pidana denda dan status barang bukti. Analisis penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim belum sepenuhnya menilai hubungan hukum antara PT NPM sebagai kontraktor dan PT Bososi Pratama sebagai pemegang izin, meskipun fakta persidangan menunjukkan bahwa kegiatan penambangan dilakukan atas perintah dan arahan KTT serta Direktur Utama PT Bososi Pratama. Hal ini menimbulkan persoalan teoretis mengenai penerapan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya perbedaan antara strict liability dan vicarious liability, serta relevansi asas legalitas dan asas proporsionalitas dalam penegakan hukum lingkungan. Kajian ini juga menyoroti urgensi keadilan lingkungan (environmental justice), bahwa penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks kepastian hukum, struktur hubungan kerja korporasi, dan proporsionalitas manfaat ekonomi yang diterima masing-masing pihak. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penolakan kasasi Mahkamah Agung berpotensi tidak mencerminkan pertanggungjawaban pidana yang proporsional karena mengabaikan analisis mendalam terhadap pihak yang memiliki kendali penuh atas kegiatan pertambangan, yaitu pemegang IUP. Oleh sebab itu, diperlukan pembaruan regulasi serta pedoman yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hubungan kerja kontraktual, agar penegakan hukum lingkungan berjalan adil, konsisten, dan selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.