Pasal 7A ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menetapkan bahwa korban tindak pidana berhak menerima restitusi sebagai kompensasi atas kerugian yang timbul akibat tindakan pidana. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dua hal utama: pertama, pengaturan hak restitusi menurut undang-undang tersebut, dan kedua, pelaksanaan pengembalian kerugian materiil bagi korban tindak pidana penipuan di wilayah hukum Polres Rokan Hulu. Metode penelitian yang digunakan meliputi pendekatan hukum sosiologis, serta pendekatan perundang-undangan dan kasus. Lokasi penelitian berada di Kepolisian Resor Rokan Hulu dengan teknik pengumpulan data yang terdiri dari observasi langsung, wawancara terstruktur dengan narasumber relevan, dan studi dokumen atau kepustakaan. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber primer, sekunder, dan tersier, yang kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Pasal 7A ayat (1) huruf b dari UU Nomor 31 Tahun 2014 di Kabupaten Rokan Hulu belum efektif pada periode 2022 hingga 2023. Beberapa faktor penghambat meliputi kurangnya sosialisasi dari pihak Kepolisian mengenai kewajiban penasihat hukum korban untuk mengajukan permohonan restitusi, ketidakadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Provinsi Riau, rendahnya pengetahuan hukum masyarakat setempat tentang hak restitusi, serta kebiasaan budaya lokal yang hanya mengandalkan hukuman penjara untuk pelaku tindak pidana. Faktor-faktor ini berkontribusi pada tidak optimalnya pelaksanaan hak restitusi di wilayah tersebut.