Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Program Vaksinasi Sars-Cov 2 dan Relevansinya dengan Pemaknaan Kebebasan Menentukan Pelayanan Kesehatan dari Perspektif Hak Asasi Manusia Depari, Lisa; Dewi, Y. Trihoni Nalesti; Limijadi, Edward Kurnia
Soepra Jurnal Hukum Kesehatan Vol 10, No 1: Juni 2024
Publisher : Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24167/sjhk.v10i1.10480

Abstract

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan didefinisikan sebagai hak. Sebagai hak, dasar utamanya pada kebebasan memilih. Karena itu, hak yang sifatnya opsional hanya dapat dianjurkan negara kepada warga negara dengan tetap menghargai kebebasan memilih warga negara. Singkatnya, negara wajib menyediakan hak warga negara melalui tata hukum positif tapi penggunaannya tak dapat dituntut atau dipaksakan. Paksaan dengan alasan kebaikan umum sekalipun pada dasarnya merupakan pembatasan terhadap kebebasan yang tak lain adalah hakikat dari hak. Namun dalam masa Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, negara mengeluarkan beberapa kebijakan yang membatasi kebebasan warga negara dan memaksa semua warga negara untuk menerima vaksin SARS-Cov 2. Apakah kebijakan pemerintah yang mewajibkan vaksinasi SARS-Cov 2 bertentangan dengan Hak Asasi Manusia?Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian kualitatif eksplanatif. Sedangkan teori yang digunakan adalah Hans Kelsen dan teori hukum kodratnya Thomas Aquinas. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dalam pengaturan hukum positif, warga Negara memiliki hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi tubuhnya. Karena hak, sifatnya opsional, sehingga warga Negara dapat menggunakan atau mengabaikannya. Akan tetapi, pada masa Pandemi Covid-19, hak dimaksud tidak dapat digunakan secara mutlak untuk menolak vaksinasi yang ditawarkan Negara sebagai salah satu jalan keluar penanggulangan Covid-19. Karena hukum dibuat untuk manusia, untuk memuliakan keluhuran martabat manusia, maka kemanusiaan harus menjadi simbol dalam aktivitas hukum berhukum. Dengan demikian, demi kemanusiaan yang adil di satu sisi dan beradab di sisi yang lain, hak perorangan untuk memilih yang terbaik bagi tubuhnya hanya berlaku dalam situasi normal, sedangkan pada masa kedaruratan kesehatan yang luar biasa, hak bersama yang lain harus menjadi prima facie dalam hukum berhukum. Dalam konsteks ini, keselamatan bersama manusia di teritori Negara merupakan hukum tertinggi
Kajian Normatif Peraturan Tentang Penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) Bagi Penderita Epilepsi di Indonesia Saputera, Monica Djaja; Purwoko, A. Joko; Limijadi, Edward Kurnia
Soepra Jurnal Hukum Kesehatan Vol 9, No 2: Desember 2023, Terakreditasi Nasional Peringkat 3
Publisher : Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24167/sjhk.v9i2.5345

Abstract

Abstrak: Penerbitan SIM bagi penderita epilepsi merupakan bagian dari wewenang kepolisian dalam rangka menjamin keamanan, kelancaran dan ketertiban dalam berlalu lintas. Penderita epilepsi yang memiliki resiko kecelakaan lalu lintas akibat serangan kejang mendadak saat mengemudi merupakan sebuah permasalahan yang membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber data didapatkan dari bahan hukum primer yang bersifat mengikat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU No 22 Tahun 2009 dan Perpol No 5 Tahun 2021 merupakan landasan hukum penerbitan SIM yang berlaku saat ini. Namun, kedua peraturan hukum ini tidak secara khusus mengatur proses penerbitan SIM pada penderita epilepsi. Hal ini menimbulkan keraguan apakah isi hukum ini sudah cukup dan dapat diimplementasikan dalam praktiknya sehari-hari.Kata kunci: epilepsi, surat izin mengemudi, pembatasan mengemudi, regulasi hukum Abstract: The issuance of a driver's license for individuals with epilepsy is part of the police authority to ensure safety, smooth traffic flow, and order on the roads. Epilepsy patients at risk of sudden seizures while driving pose a specific concern that requires attention. This research employs a normative approach with descriptive-analytical research specifications. Data sources are derived from legally binding primary legal materials. The data analysis method used is qualitative analytical. The findings indicate that Law No. 22 of 2009 and Regulation No. 5 of 2021 serve as the current legal basis for driver's license issuance. However, these legal regulations do not specifically address the driver's license issuance process for individuals with epilepsy. This raises doubts about whether the legal content is sufficient and can be implemented in daily practice.Keywords: epilepsy, driver's license, driving restrictions, legal regulations.
Pertimbangan Etis dan Hukum terhadap Dokter pada Pasien Gagal Ginjal yang Menolak Tindakan Hemodialisis Diansyah, Wahyu; Yustina, Endang Wahyati; Limijadi, Edward Kurnia
Soepra Jurnal Hukum Kesehatan Vol 10, No 2: Desember 2024
Publisher : Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24167/sjhk.v10i2.12415

Abstract

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 4 ayat (1) huruf f, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab termasuk dalam penolakan tindakan hemodialisis, namun hal ini mengakibatkan dilema etis dan hukum bagi dokter karena pertimbangan antara menghormati otonomi pasien yang menolak hemodialisis dan kewajiban dokter secara profesional untuk menyelamatkan nyawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan etik dan hukum bagi dokter dalam melakukan tindakan hemodialisis terhadap pasien gagal ginjal, serta akibat dari sisi etik dan hukum terhadap dokter atas penolakan pasien gagal ginjal untuk tindakan hemodialisis. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan menggunakan data sekunder sebagai bahan utama dan data primer sebagai pelengkap. Hasil penelitian selanjutnya dilakukan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertimbangan etik artinya adanya manfaat yang diberikan setelah dilakukan hemodialisis, penilaian segi keberhasilan Tindakan hemodialisis, serta pemahan pasien tentang hemodialisis dan konsekuensi penolakanya. Sedangkan pertimbangan hukum artinya adanya hak pasien yang wajib dijaka keputusanya, kewajiban dokter melakukan apa yang diminta sesuai dengan SOP Rumah Sakit, kepatuhan dokter terhadap kode etik dan regulasi bagi dokter yang akan melakukan hemodialisis. Akibat etik dan hukum penolakan tindakan hemodialisis adalah rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap profesi medis, integritas dokter yang menurun, meskipun demikian dokter tetap berkewajiban memonitor dan memberikan perawatan terbaik yang mungkin diberikan. Penolakan pasien harus dihormati oleh dokter dan didokumentasikan dengan baik. Melakukan tindakan tanpa persetujuan pasien dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum dan berisiko tuntutan malpraktik. Dokter juga harus mematuhi kode etik profesional yang menghormati otonomi pasien. Melanjutkan tindakan tanpa persetujuan pasien dapat berakibat tuntutan hukum dan pelanggaran kode etik profesi. Namun, dengan mematuhi semua kewajiban sesuai ketentuan hukum, dokter akan mendapatkan perlindungan hukum dari tuntutan yang tidak berdasar.Abstract: Law of the Republic of Indonesia Number 17 of 2023 on Health, Article 4 paragraph letter f, states that everyone has the right to independently and responsibly determine the Health Services needed for themselves, including the right to refuse hemodialysis treatment. However, this creates an ethical and legal dilemma for doctors, as they must balance respecting the autonomy of patients who refuse hemodialysis with their professional obligation to save lives. The purpose of this study is to understand the ethical and legal considerations for doctors in performing hemodialysis on patients with kidney failure, as well as the ethical and legal consequences for doctors when patients refuse hemodialysis treatment. This research uses an empirical juridical approach, with secondary data as the main material and primary data as a complement. The subsequent analysis employs qualitative methods. The study findings indicate that ethical considerations involve assessing the benefits provided by hemodialysis, evaluating the success of the procedure, and understanding the patient's knowledge of hemodialysis and the consequences of their refusal. Legal considerations, on the other hand, pertain to the patient's right to have their decision respected, the doctor's obligation to perform requested actions according to hospital SOPs, and the doctor's compliance with the code of ethics and regulations governing hemodialysis procedures. The ethical and legal consequences of refusing hemodialysis include the potential erosion of public trust in the medical profession and a decline in the doctor's integrity. Nonetheless, doctors are still obligated to monitor and provide the best possible care. Patient refusals must be respected and thoroughly documented. Performing actions without patient consent can be considered a legal violation and risk malpractice claims. Doctors must also adhere to professional codes of ethics that respect patient autonomy. Continuing treatment without patient consent can result in legal action and violations of the professional code of ethics. However, by fulfilling all obligations according to legal requirements, doctors will receive legal protection from unfounded claims