Artikel ini membahas tentang konstribusi pemikiran Al Mawdudi terhadap etika kepemimpinan. Dewasa ini praktek sekularisasi politik, pragmatis sekular hingga hidup hedonis tidak bisa terelakkan bagi para pejabat terutama flexing untuk menunjukan martabat kedudukan tertentu . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Abu al-A’la al-Maududy dan relevansinya bagi etika kepemimpinan berpretensi menelusuri dan menjelaskan persoalan-persoalan yang melingkupi konsepsi etika kepemimpinan dalam konteks kepustakaan, sebagaimana kitab Nazdariyah al-Islam al-Siyasah sebagaimana untuk mengatur hubungan pejabat dengan warganya mengenai kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan dan siyasah mahliyah untuk mengatur kemaslahatan masyarakat sebagaimana concern utamanya pada konsep dasarnya yang menegaskan dengan system konstituti negara ideal berlandaskan aspek Tauhid dalam menjalankan konstitusi terutama etika dalam pemerintahan itu sendiri. Penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan sumber data: dan data utamanya adalah karya-karya yang ditulis oleh al maududi yaitu ; 1) Abu al- A’la, Jamā’at Islāmī, us ka maqsad, tarikh, awr la laihi aml “The Jamā’at Islāmī, Its Aim, History and Programme, 2) Nazdariyah al-Islam al-Siyasah,. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melacak konstribusi pemikiran Al-Mawdudi bagi pengembangan etika kepemimpinan peneliti melihat pada kitab “al-Khilafah wa al-mulk” dan Telaah yang kedua ada pada buku, “Empat Istilah Pokok Dalam Al-Qur’an”. Inti dari teo-demokrasi, pemimpin yang hanya pendelegasian atas kedaulatan Tuhan yang harus menampilkan segala sesuatu dibawah aturanNya, maka memiliki tanggung jawab social untuk menerima masukan dan kritikan masyarakat inilah yang menjadi fundamental atas kerangka filosofis etika kepemimpinan maka seorang pemimpin tidak berhak untuk memperkaya diri dengan atas kuasa jabatannya ataupun bertindak lalim dan zalim bagi rakyatnya. Kemudian terwujudlah pada implementasinya mengenai kekuasaan dalam rangka merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Etika kepemimpinan dalam penyelenggara Negara yang harus Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), adalah tonggak membangun aparatur yang bersih. Secara esensial manusia sejatinya mampu berbuat baik dengan kemampuan akal yang menimbang dengan hati kemudian terwujudlah sebuah tatanan moralitas yang telah disepakati masyarakat umumnya. Namun, manusia membutuhkan agama sebagai sumber moralitas itu sendiri, tatkala pemimpin di suatu negara memahami terhadap keyakinannya dan senantiasa menjalankan kehidupan beragama secara baik niscaya akan lahir aspek kepemimpinan inklusif. Siapa saja atau pemimpin hendaknya tidak membatasi hubungan pertemanan kepada hanya beberapa orang (eksklusif). Bergaulah seluas mungkin, dengan bawahan, atasan, laki-laki atau perempuan, sejawat atau lintas sektoral.