Handini, Retno
Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

SARKOFAGUS DAN RITUAL SEDEKA ORONG DI SITUS AI RENUNG, SUMBAWA Handini, Retno
Naditira Widya Vol 11, No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v11i2.230

Abstract

Situs Ai Renung merupakan situs kompleks megalitik di Desa Batu Tering, Kec. Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang terbagi menjadi 5 situs yakni Ai Renung 1, 2 3, 4 dan 5 dengan temuan utama berupa sarkofagus. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bentuk dan ornamen sarkofagus di Situs Ai Renung serta ritual yang dilakukan masyarakat Batu Tering yang memanfaatkan keberadaan sarkofagus tersebut. Metode yang dilakukan adalah observasi atau pengamatan langsung serta wawancara mendalam dengan informan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Situs Ai Renung merupakan wilayah yang dianggap sakral, terutama di Situs Ai Renung 2 yang merupakan lokasi ritual sedeka orong.Sarkofagus Ai Renung memiliki kekhasan dari segi bentuk dan teknologi pahatan, berupa manusia kangkang dan buaya yang dipahatkan hampir di seluruh permukaan batuan.
Nekara, Moko, dan Jati Diri Alor. Simanjuntak, Truman; Handini, Retno; Yuniawati, Dwi Yani
KALPATARU Vol 21, No 2 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (952.834 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v21i2.112

Abstract

Moko merupakan benda unik yang memegang peran penting dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Alor. Menariknya, walaupun benda ini tidak diproduksi di Alor, tetapi tetap dipertahankan secara turun-temurun, tidak sebatas benda pusaka tetapi juga sebagai lambang atau status sosial, mas kawin (belis), alat tukar, alat musik, alat-alat upacara dalam kematian, pendirian rumah, pesta panen, perkawinan, dll. Bahkan konon dahulu, moko memiliki fungsi yang jauh lebih kompleks. Selain sebagai pengganti nyawa manusia yang dibunuh atau karena kecelakaan, moko berfungsi sebagai benda religius-magis yang dapat memberi kemakmuran, keberhasilan bagi keluarga, merusak panen bagi yang melanggar ketentuan adat, termasuk sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial secara adat. Singkatnya moko telah menempati peran yang sangat penting dalam berbagai kisi kehidupan masyarakat Alor sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Benda yang merupakan substitusi nekara ini menjadi jati diri Masyarakat Alor. Oleh sebab itu penggalian, pelestarian, dan aktualisasi nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsiknya menjadi sangat penting bagi penguatan jati diri lokal dalam pengembangan jati diri kebangsaan yang berlandaskan kebhinnekaan. Abstract. Kettledrums, Moko, and Self Identity of Alor. Moko is a unique type of objects that plays an important role in the socio-cultural life of Alor people. Interestingly, although mokos were not produced in Alor, they are being kept from generation to generation, not only as heirloom but also as a symbol of social status, dowry, currency, musical instrument, or instrument in rituals (in the events of death, house-building, harvest, marriage, etc.). In fact, moko used to have far more complex function in the past. Aside from being a substitute of the soul of people who was killed or died in accident, mokos were also functioned as religious-magic objects that can provide prosperity, success in families, destroy harvest if a traditional custom was violated, as well as a tool to traditionally-solved social problems. In short, mokos have played an important role in various aspects of life among the Alor people since hundreds or even thousands of years ago. The object, which was a substitute for kettledrum, is the identity of the Alor people. Therefore research, preservation, and actualization of its intrinsic and extrinsic values are very important to strengthen local identity in the attempt to develop national identity based on diversity.
“Memasyarakatkan” Living Megalithic: Pesona Masa Lalu Yang Tetap Bergema. Handini, Retno
KALPATARU Vol 21, No 1 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (762.928 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v21i1.100

Abstract

Situs dan budaya megalitik berlanjut (living megalithic) yang ada di Indonesia seperti Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, dan Ende memiliki daya tarik eksotis, baik bagi ilmu pengetahuan maupun untuk dinikmati khalayak ramai sebagai sebuah tampilan budaya. Segi-segi ilmiah tetap menuntut penjelasan akademis tentang proses budaya sejak diperkirakan muncul sebelum Tarikh Masehi hingga mampu bertahan sampai saat ini, sementara “memasyarakatkan” budaya megalitik yang masih hidup merupakan sebuah pesona tersendiri, karena merupakan “window to the past”, yang jarang terjadi pada tinggalan arkeologis. Melihat dan menikmati budaya megalitik yang masih berlanjut adalah sebuah atraksi wisata budaya yang sangat luar biasa, apalagi ketika menyentuh tata cara pendirian bangunan megalitik dengan teknik-teknik sederhananya, saat teknologi modern tidak digunakan. Situasi seperti ini akan memberi nilai wisata budaya yang tinggi, dengan daya tarik tersendiri, sehingga living megalithic perlu dimasyarakatkan. Abstract. “Socializing” Living Megalithic: The Charm of the Past that Still Exists. The living megalithic sites and cultures in Indonesia such as Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, and Ende are exotic attractions both from scientific perspective and from the point of view of public attractions as cultural items. The scientific side requires academic explanation about their cultural processes since their initial emergence ± 2,500 years ago up to now. Meanwhile, “socializing” living megalithic culture is due to its charm as the “window to the past,” which is rarely the case with other types of archaeological remains. To see and enjoy living megalithic culture are spectacular from the point of view of cultural tourism, especially the process of building a megalithic structure using simple traditional techniques without modern technology. Such experience will enhance the value of cultural tourism. Therefore living megalithic traditions need to be socialized to the general public.
Balung Buto dalam Persepsi Masyarakat Sangiran: Antara Mitos dan Fakta Handini, Retno
KALPATARU Vol 24, No 1 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1881.475 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v24i1.63

Abstract

Abstrak. Tulisan ini merupakan kajian tentang “balung buto”, sebuah mitos atau kepercayaan masyarakat yang menghuni wilayah penemuan fosil-fosil purba di Jawa. Penelitian ini difokuskan di Situs Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia untuk memahami pola pikir dan persepsi masyarakat penghuni situs dalam memandang keberadaan fosil yang banyak ditemukan di sekitar lahan tegalan atau pekarangan mereka. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam pada masyarakat yang  tinggal di Sangiran. Hasil penelitian menunjukkan walaupun saat ini sudah semakin ditinggalkan dan tidak lagi diturunkan pada generasi muda, namun mitos “balung buto” masih mempengaruhi pola pikir dan perilaku kalangan tertentu yang mempercayainya. Hal tersebut secara langsung ataupun tidak berdampak pada pencarian fosil dan pelestarian situs.Abstract. This article is a study on ‘balung buto’ (which means giant’s bone), a myth or belief shared by the communities that live in areas where prehistoric fossils are found in Java. The study is focused at the World Heritage Site of Sangiran to understand the way of thinking and perception of the inhabitants around the site in viewing the existence of fossils, which are found in abundance on their agricultural fields or house yards. The method used here is insightful interview with the people who live at Sangiran. The study reveals that although believed by less and less people and no longer inherited to the young generation, there are some people who still believe the myth. To them the myth of ‘balung buto’ still influences their pattern of thoughts and behaviour so that directly or indirectly it has impacts on fossil-collecting behaviour and site preservation.