Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Analisis Metode Ijtihad Terhadap Hukum Poligami dalam Fatwa Syaikh Bin Baz Mahatta, Afdhalia; Azwar, Zainal
Jurnal Diskursus Islam Vol 12 No 2 (2024): August
Publisher : Program Pascasarjana, UIN Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/jdi.v12i2.44283

Abstract

Artikel ini membahas ijtihad Syaikh Bin Baz tentang hukum poligami. Meskipun madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah sunnat, ulama Syafi'i berpendapat bahwa itu adalah mubah (boleh). Namun, Syaikh Bin Baz berbeda dan menganggap poligami sebagai hukum asal perkawinan. Untuk memamparkan hal tersebut, data yang dikumpulkan secara keseluruhan diperlukan, yang merujuk pada penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode ijtihad yang digunakan Syaikh Bin Baz dalam fatwa beliau mengenai hukum asal perkawinan adalah poligami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Syaikh Bin Baz dalam fatwa beliau mengenai hukum poligami menggunakan dua model metode ijtihad yaitu dalam hal ini beliau menggunakan metode bayani ialah upaya untuk memahami sumber hukum atau tasyri, yaitu al-Qur'an dan As-Sunnah, dan metode intiqa’i, atau tarjih, adalah membandingkan pendapat para ulama sebelumnya dengan melakukan penelitian ulang tentang bukti yang mendukungnya.
PENERAPAN LAFAZ HAQIQAH DAN MAJAZ TERHADAP MAKNA PERKAWINAN DALAM ISLAM Mahatta, Afdhalia; Irfan AD, Muhammad; Bahar, Muchlis; Firdaus, Firdaus
al-Rasῑkh: Jurnal Hukum Islam Vol. 13 No. 1 (2024): July
Publisher : Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda'wah Bangil Pasuruan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38073/rasikh.v13i1.1680

Abstract

In the hierarchy, Haqiqah has a higher position than Majaz, because Haqiqah is the principal while Majaz is the branch. Therefore, Majaz cannot be used as a basis for determining a law unless there is difficulty in using the Haqiqah, and in this case, instructions (qarinah) are needed that direct the use of Majaz. In the linguistic context, the word “an-nikâh” in Arabic has a hakiki meaning and a Majazi meaning. According to Imam Nawawi, linguistically, “nikâh” means joining. Sometimes, the word “nikâh” is used to refer to “marriage contract”, and sometimes it is also used to refer to “intercourse”. This research is a qualitative method that uses library research, in this study the data used is secondary data sourced from books and OJS-based scientific articles that are relevant to this discussion. Based on the discussion that the author has analyzed, it can be concluded that the explanation of the concept of marriage in Islam, especially those related to the word “nikah”, can be understood through the Haqiqah and Majaz approaches. According to ushul scholars and Arabic linguists, the Haqiqah of the word “nikah” is actually “watha”. However, according to the fuqaha, including the four madhhabs, the true Haqiqah of “nikah” is “akad”, although in its Majaz usage it refers to “watha”.
Marriage Age Limits in Islamic Context: A Comparative Study in Several Muslim Countries Rahim, Raisa; Khatimah, Husnul; Karyono, Quoies Hassan; Al Latifah, Soraya; Mahatta, Afdhalia
Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Vol. 6 No. 2 (2023): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Publisher : Islamic Family Law Department, STAI Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/mediasas.v6i2.147

Abstract

The issue of the age of marriage is often an attractive discussion and develops in line with different locations and times. This issue is very crucial in the discourse of Islamic legal studies because of its relevance to various provisions in every Muslim country, such as Pakistan, Jordan, Turkey, Egypt, Tunisia, Indonesia, Morocco and Malaysia. The rules of law that apply in each country must be obeyed by pubescent men and women who want to get married, but there are also those who violate them. This can certainly affect the legal protection of marriages or families that violate these rules. The purpose of this research is to see the existence of family law regarding differences in marriage age limits in each country, especially Muslim-majority countries. The research used is normative research with a comparative approach. It can be understood that the application of the age of marriage in these various countries varies, which shows that the application of the standard age of marriage in various countries depends on the policy guidelines of each country. Of the 8 countries, there are 6 countries that allow and permit marriages between two candidates who have not reached the lowest age limit for marriage. And there are 2 countries that do not allow their citizens to marry before reaching the minimum age of marriage, namely Pakistan and Egypt. Not only does it prohibit, both countries impose severe sanctions on citizens who do not comply. [Isu mengenai batas usia pernikahan seringkali menjadi pembahasan yang atraktif dan mengalami perkembangan sejalan dengan lokasi dan waktu yang berbeda. Isu tersebut berkedudukan sangat krusial dalam diskursus kajian hukum Islam dikarenakan relevansinya dengan berbagai ketetapan aturan disetiap negara Muslim, seperti, Pakistan, Yordania, Turki, Mesir, Tunisia, Indonesia, Maroko dan Malaysia. Aturan hukum yang berlaku di setiap negaranya wajib di patuhi oleh laki-laki dan perempuan baligh yang hendak melangsungkan pernikahannya namun ada juga yang melanggarnya. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi perlindungan hukum terhadap perkawinan atau keluarga yang melanggar aturan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat eksistensi hukum keluarga mengenai perbedaan batas usia pernikahan disetiap negaranya terutama negara mayoritas Muslim. Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dapat dipahami bahwa penerapan usia perkawinan di berbagai negara ini bervariasi, yang menunjukkan bahwa penerapan standar batas usia pernikahan di berbagai negara tersebut bergantung kepada kebijakan pedoman Negara masing-masing. Dari 8 negara tersebut, ada 6 negara yang memperbolehkan dan mengizinkan pernikahan yang dilakukan kedua calon yang belum mencapai batas umur paling rendah untuk melakukan pernikahan. Dan ada 2 negara yang tidak memperkenankan warga negaranya melakukan perkawinan sebelum mencapai batas usia minimum pernikahan yaitu Negara Pakistan dan Negara Mesir. Tidak hanya melarang, kedua Negara tersebut memberikan sanksi yang cukup berat bagi warga neganya yang tidak patuh.]