Lumban Gaol, Ebeneser
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Tinjauan Sosio-historis Dinamika Politik dan Agama di Yudea pada Abad Pertama Lumban Gaol, Ebeneser
HARVESTER: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen Vol 9, No 2 (2024): Teologi dan Kepemimpinan Kristen - Desember 2024
Publisher : STTI Harvest Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52104/harvester.v9i2.245

Abstract

This research aims to analyze the interaction and relationship between political power and religious authority in the province of Judea during the first century AD. Through a socio-historical approach, this study demonstrates that the political and religious life in Judea after Jesus was characterized by overlapping authorities, which created uncertainty and instability. In the first century, the power structure revealed a complex relationship between religious and political authorities. The rise of Roman power led to fragmented political authority, where client kings from the Herodian dynasty, who were highly loyal to Rome, faced consistent demands to ensure the welfare of the Jewish people traditionally led by religious elites. Widespread dissatisfaction due to anti-people economic and political policies, along with insensitivity to religious values, sparked social conflicts accompanied by violence. Rivalries among holders of political and religious authority resulted in social upheaval marked by violence erupting in various places, worsening over time. This culminated in the Jewish revolt of 66-70 AD, which forever changed the history of the Temple. AbstrakPenelitian ini bermaksud menganalisis interaksi dan hubungan antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama di provinsi Yudea pada abad pertama Masehi. Melalui pendekatan sosio-historis, penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan politik dan agama di Yudea pasca Yesus ditandai oleh tumpang tindih otoritas yang menciptakan ketidakpastian dan instabilitas. Pada abad pertama, struktur kekuasaan menunjukkan kompleksitas hubungan antara otoritas keagamaan dan politik. Masuknya kekuasaan Roma menjadikan otoritas politik terfragmentasi, dimana raja bawahan (client king) dari dinasti Herodian yang sangat loyal kepada Roma menghadapi tuntutan yang konsisten untuk memenuhi kesejahteraan orang Yahudi yang secara tradisional dipimpin elit keagamaan. Ketidakpuasan yang meluas akibat kebijakan ekonomi dan politik yang tidak pro-rakyat serta ketidakpekaan terhadap nilai-nilai keagamaan memicu konflik sosial yang disertai kekerasan. Rivalitas di antara pemegang otoritas politik dan agama membuat gejolak sosial yang disertai kekerasan meletus di berbagai tempat dan membuat keadaan memburuk seiring dengan waktu. Puncaknya adalah pemberontakan Yahudi 66-70 M yang mengubah sejarah Bait Suci untuk selama-lamanya.
Kekuasaan Politik, Rivalitas Keagamaan, dan Xenofobia dalam Sejarah Kemartiran Kristen di Asia Lumban Gaol, Ebeneser
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 9, No 2 (2025): April 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v9i2.1542

Abstract

Abstract. Martyrdom plays a fundamental role in shaping the identity and faith journey of Christians in Asia. This study aimed to obtain understanding the factors that shape Christian martyrdom in Asia, especially the role of political power, religious rivalry, and xenophobia. Using a historical-comparative method, this study analyzed cases of persecution from the early Christian period to the modern era, such as in the Roman Empire, Persia, China, and Japan. The result of the study showed that martyrdom is a phenomenon that is closely related to social, political, and cultural dynamics. Thus, the results of this study can be a guide for more contextual evangelism efforts to minimize conflict and violence.Abstrak. Kemartiran memainkan peran fundamental dalam membentuk identitas dan perjalanan iman kekristenan di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang membentuk kemartiran Kristen di Asia, terutama peran kekuasaan politik, rivalitas agama, dan xenofobia. Dengan menggunakan metode historis-komparatif, penelitian ini menganalisis kasus-kasus persekusi dari periode awal kekristenan hingga abad modern, seperti di Kekaisaran Romawi, Persia, Tiongkok, dan Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemartiran merupakan fenomena yang sangat terkait dengan dinamika sosial, politik, dan budaya. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat menjadi petunjuk bagi upaya penginjilan yang lebih bersifat kontekstual sehingga meminimalkan terjadinya konflik dan kekerasan.
Navigating Interfaith Dynamics: A Sociohistorical Overview of the Encounter Between Monk Bahira and the Young Prophet Muhammad Lumban Gaol, Ebeneser
HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Vol 13, No 2 (2025): HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24127/hj.v13i2.12144

Abstract

This study examines the encounter between Bahira, a Syrian Christian monk, and the young Prophet Muhammad within the socio-religious historical context of 6th-century Arabia. The aim of this research is to analyze the historical, social, and religious context of the time and its significance for interfaith relations in the contemporary era. The study employs a historical method with a socio-historical approach. The research provides a description of the encounter between the two figures, which took place in the city of Busrā, Syria, when the young prophet accompanied a caravan led by his uncle, Abu Talib. During this meeting, Bahira engaged in dialogue with the prophet and identified a sign of prophethood on his shoulder. Although there is ongoing debate among Christian and Islamic scholars regarding the historicity of this event, the narrative of the encounter offers a positive contribution to shaping a new perspective on the history of Muslim-Christian relations. The meeting between Bahira and the young Prophet Muhammad serves as a model for contemporary discourse on religious coexistence, emphasizing common ground, hospitality and mutual respect, pluralistic dialogue, and reciprocal recognition. Through these aspects, the encounter illustrates dialogue and tolerance among adherents of different faiths. This study contributes to historical discourse on interfaith dynamics and highlights the importance of exploring religious historical narratives to foster interfaith cooperation.
Dari Fondasi ke Transformasi: Analisis Sosio-Historis terhadap perkembangan HKBP Pematangsiantar pada tahun 1928-1934 Tambun, Roy Haries Ifraldo; Lumban Gaol, Ebeneser
Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika Vol 7 No 2 (2024): Desember 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34081/fidei.v7i2.605

Abstract

Perkembangan gereja merupakan proses berkelanjutan yang harus di upayakan, baik secara internal maupun eksternal. Esensi perkembangan ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan lebih utama pada pertumbuhan spiritual dan organisasional dari dalam gereja itu sendiri. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis sosio-historis. Adapun tujuan dari artikel ini untuk mengidentifikasi faktor utama yang mempengaruhi perkembangan gereja HKBP Pematangsiantar. Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian, yaitu dinamika pendorong dan penghambat perkembangan gereja HKBP Pematangsiantar untuk menemukan implikasi perkembangan tersebut pada masa sekarang. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi bahwa ada beberapa faktor yang berperan dalam perkembangan gereja HKBP Pematangsiantar adalah faktor sosiologis, spiritual, dan pendidikan. Secara sosiologis, semangat kemerdekaan "zelfstandigheid" dari zending kolonial Belanda mendorong kemandirian gereja untuk keluar dari zending kolonial Belanda. Hal ini juga mendorong perkembangan spiritual, dengan adanya persentase peningkatan jumlah pemeluk Kristen. Senada dengan hal tersebut faktor pendidikan berperan penting melalui program-program edukasi yang memperkuat pemahaman doktrinal dan pengembangan SDM.