MASTORY, BAGUS
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

FILSAFAT STOISISME DAPAT MELAHIRKAN PERASAAN SKEPTIS PADA HAL BAIK YANG AKAN TERJADI MASTORY, BAGUS; SYUKUR, MUHAMMAD
CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/cendekia.v5i1.4075

Abstract

Stoicism, a philosophy developed by Zeno and later advanced by thinkers such as Epictetus, Seneca, and Marcus Aurelius, emphasizes the importance of self-control, virtue, and the acceptance of life's inherent realities. Central to Stoic philosophy is the belief that true happiness arises from our ability to regulate our reactions and attitudes toward external events, which are often beyond our control. Consequently, Stoicism fosters a sense of skepticism regarding the expectation of positive outcomes, given that all aspects of life are inherently uncertain and transient. This skepticism, however, should not be conflated with pessimism; rather, it serves as a mental preparation to embrace all possible outcomes without attachment to a specific result. By emphasizing the acceptance of uncertainty and prioritizing virtue as the ultimate aim, Stoicism teaches detachment from expectations of favorable circumstances and encourages a focus on managing emotions and responses. In this framework, skepticism functions as a tool to mitigate disappointment, preserve inner tranquility, and diminish reliance on external conditions that may disrupt life's equilibrium. ABSTRAKFilsafat Stoisisme, yang dikembangkan oleh Zeno dan dipopulerkan oleh filsuf-filsuf seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, menekankan pentingnya pengendalian diri, kebajikan, dan penerimaan terhadap kenyataan hidup. Salah satu prinsip utama Stoisisme adalah keyakinan bahwa kebahagiaan sejati bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola reaksi dan sikap terhadap peristiwa eksternal, yang sering kali berada di luar kendali kita. Sebagai konsekuensinya, Stoisisme dapat melahirkan perasaan skeptis terhadap harapan akan hal baik yang akan terjadi, karena segala sesuatu dalam hidup dianggap tidak pasti dan sementara. Skeptisisme ini bukan berarti pesimisme, tetapi lebih kepada persiapan mental untuk menerima segala kemungkinan tanpa bergantung pada hasil yang diinginkan. Dengan menekankan penerimaan terhadap ketidakpastian dan fokus pada kebajikan sebagai tujuan utama, Stoisisme mengajarkan bahwa kita sebaiknya tidak terlalu terikat pada ekspektasi terhadap hal-hal baik, melainkan lebih pada bagaimana kita mengelola perasaan dan respons kita terhadapnya. Dalam konteks ini, skeptisisme menjadi alat untuk mengurangi kekecewaan dan menjaga kedamaian batin, menjauhkan kita dari ketergantungan pada hasil eksternal yang dapat mengganggu keseimbangan hidup.
Dinamika Sosial di Perbatasan: Adaptasi Masyarakat Sebatik dalam Arus Urbanisasi Mastory, Bagus; Kamaruddin, Syamsu A; Awaru, A. Octamaya Tenri
Journal Social Society Vol. 5 No. 1 (2025): Januari - Juni 2025
Publisher : Pustaka Digital Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54065/jss.5.1.2025.612

Abstract

Urgensi penelitian ini terletak pada perlunya memahami bagaimana masyarakat perbatasan beradaptasi secara sosial dalam konteks keterbatasan institusional, perubahan demografis, serta tekanan ekonomi dan identitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk adaptasi sosial yang berkembang di luar kerangka formal negara, serta memahami strategi warga dalam membangun kehidupan sehari-hari di tengah keterhubungan transnasional. Metode yang digunakan yaitu kualitatif melalui analisis tematik terhadap data sekunder berupa statistik kependudukan, laporan pemerintah, dan literatur akademik, studi ini mengulas empat dinamika utama: adaptasi terhadap pergeseran demografis, relasi sosial antar-etnis, praktik ekonomi dengan penggunaan dua mata uang (rupiah dan ringgit), serta perdagangan lintas batas yang bersifat informal. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat Sebatik membangun praktik adaptasi sosial yang bersifat fungsional dan situasional melalui agensi informal, jejaring sosial, dan strategi pragmatis, bukan melalui integrasi formal negara. Dengan menggunakan kerangka borderland theory, everyday bordering, dan peripheral urbanization, studi ini menegaskan bahwa ruang perbatasan merupakan arena sosial yang dinamis, di mana identitas, ekonomi, dan keberadaan dinegosiasikan secara terus-menerus oleh warganya. Artikel ini memberikan kontribusi penting bagi kajian sosiologi perbatasan, dengan menunjukkan bahwa keberagaman dan fleksibilitas bukan sekadar konsekuensi dari posisi geografis, tetapi justru menjadi modal sosial utama dalam membangun ketahanan masyarakat perbatasan di tengah perubahan struktural yang cepat.