Stoicism, a philosophy developed by Zeno and later advanced by thinkers such as Epictetus, Seneca, and Marcus Aurelius, emphasizes the importance of self-control, virtue, and the acceptance of life's inherent realities. Central to Stoic philosophy is the belief that true happiness arises from our ability to regulate our reactions and attitudes toward external events, which are often beyond our control. Consequently, Stoicism fosters a sense of skepticism regarding the expectation of positive outcomes, given that all aspects of life are inherently uncertain and transient. This skepticism, however, should not be conflated with pessimism; rather, it serves as a mental preparation to embrace all possible outcomes without attachment to a specific result. By emphasizing the acceptance of uncertainty and prioritizing virtue as the ultimate aim, Stoicism teaches detachment from expectations of favorable circumstances and encourages a focus on managing emotions and responses. In this framework, skepticism functions as a tool to mitigate disappointment, preserve inner tranquility, and diminish reliance on external conditions that may disrupt life's equilibrium. ABSTRAKFilsafat Stoisisme, yang dikembangkan oleh Zeno dan dipopulerkan oleh filsuf-filsuf seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, menekankan pentingnya pengendalian diri, kebajikan, dan penerimaan terhadap kenyataan hidup. Salah satu prinsip utama Stoisisme adalah keyakinan bahwa kebahagiaan sejati bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola reaksi dan sikap terhadap peristiwa eksternal, yang sering kali berada di luar kendali kita. Sebagai konsekuensinya, Stoisisme dapat melahirkan perasaan skeptis terhadap harapan akan hal baik yang akan terjadi, karena segala sesuatu dalam hidup dianggap tidak pasti dan sementara. Skeptisisme ini bukan berarti pesimisme, tetapi lebih kepada persiapan mental untuk menerima segala kemungkinan tanpa bergantung pada hasil yang diinginkan. Dengan menekankan penerimaan terhadap ketidakpastian dan fokus pada kebajikan sebagai tujuan utama, Stoisisme mengajarkan bahwa kita sebaiknya tidak terlalu terikat pada ekspektasi terhadap hal-hal baik, melainkan lebih pada bagaimana kita mengelola perasaan dan respons kita terhadapnya. Dalam konteks ini, skeptisisme menjadi alat untuk mengurangi kekecewaan dan menjaga kedamaian batin, menjauhkan kita dari ketergantungan pada hasil eksternal yang dapat mengganggu keseimbangan hidup.