Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA NEONATORUM Elok Dwi Cahyani; Aldhina Janurti; Aulia Rahma; Gusriani
Journal of Scientech Research and Development Vol 6 No 2 (2024): JSRD, December 2024
Publisher : Ikatan Dosen Menulis

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56670/jsrd.v6i2.640

Abstract

Latar Belakang: Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab utama mordibitas dan mortalitas pada bayi baru lahir, terutama di negara-negara berkembang. Risiko asfiksia pada bayi dipengaruhi oleh kondisi kesehatan ibu selama kehamilan, termasuk adanya komplikasi obstetri. Ketuban pecah dini (KPD) telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan kejadian asfiksia neonatorum. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara kejadian ketuban pecah dini (KPD) dan risiko asfiksia pada bayi baru lahir melalui pendekatan tinjauan literatur. Metode: Tinjauan literatur dilakukan dengan mencari artikel dan jurnal ilmiah dari database seperti PubMed dan Google Scholar yang diterbitkan antara tahun 2016 hingga 2024. Kata kunci yang digunakan meliputi "ketuban pecah dini" dan "Asfiksia Neonatorum." Studi yang memenuhi kriteria inklusi dianalisis secara deskriptif untuk menilai hubungan antara KPD dan asfiksia neonatorum. Hasil: Analisis literatur menunjukkan bahwa ketuban pecah dini secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya asfiksia neonatorum. Risiko ini lebih tinggi pada KPD yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai cukup bulan (preterm) dibandingkan dengan KPD pada usia kehamilan cukup bulan. Mekanisme yang mendasari meliputi infeksi intrauterin, gangguan aliran darah pada plasenta, dan stres janin akibat berkurangnya cairan ketuban. Selain itu, pengelolaan persalinan yang kurang optimal pada kasus KPD dapat memperparah risiko asfiksia. Kesimpulan: Ketuban pecah dini (KPD) memiliki keterkaitan yang signifikan dengan peningkatan risiko asfiksia neonatorum. Penanganan yang tepat, termasuk deteksi dini dan intervensi obstetri yang memadai, sangat penting untuk mencegah komplikasi serius pada bayi baru lahir. Penelitian ini menyoroti pentingnya pendekatan preventif serta manajemen yang holistik untuk mengurangi risiko asfiksia yang disebabkan oleh KPD.
Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri Anisah Nur Asidah; Elok Dwi Cahyani; Aldhina Janurti; Aulia Rahma; Nadila Afriza; Miftahul Janna; Yeti Mareta Undaryati
Vitalitas Medis : Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Vol. 2 No. 3 (2025): Juli: Vitalitas Medis : Jurnal Kesehatan dan Kedokteran
Publisher : Lembaga Pengembangan Kinerja Dosen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62383/vimed.v2i3.1994

Abstract

Background: Premenstrual Syndrome (PMS) is a combination of physical, emotional, and behavioral symptoms that occur cyclically before menstruation and are commonly experienced by adolescent girls. Common symptoms include fatigue, abdominal pain, headaches, anxiety, and mood disturbances, which can affect sleep quality, concentration, and academic productivity. This article provides an in-depth examination of the definition, types, prevalence, causes, impacts, and management of PMS in adolescent girls. Based on epidemiological data, the prevalence of PMS is quite high, both globally and nationally, with incidence rates in Indonesia reaching 70–90% among women of reproductive age, and most cases beginning during adolescence. There are four main types of PMS: Type A (anxiety), Type H (hyperhidrosis), Type C (food cravings), and Type D (depression), each with specific characteristics and etiologies. Causes of PMS include hormonal imbalances of estrogen and progesterone, reduced serotonin levels, poor sleep quality, psychological stress, genetic factors, and unhealthy lifestyles. The impact of PMS on adolescents is complex, including decreased academic performance, social relationship disturbances, and reduced psychological well-being. Therefore, PMS management should be approached holistically through pharmacological (such as NSAIDs, antidepressants, and diuretics) and non-pharmacological (physical exercise, relaxation, lifestyle changes, and nutritional education) interventions. Environmental support and reproductive health education are crucial to help adolescents effectively manage PMS symptoms and improve their quality of life. This study is expected to serve as a foundation for promotive and preventive interventions in adolescent health care.