Zakiah, Ade Rosi Siti
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

The Marital Rape Phenomenon as A Form of Gender Oppression: An Analysis of the Urgency of Sexual Consent Mubādalah's Perspective Zakiah, Ade Rosi Siti; Nasiruddin, Muhammad; Naf'an, Abdul Wahab; Andania, Ruqoyyah Amilia
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol. 7 No. 2 (2023): December 2023
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/humanisme.v7i2.8104

Abstract

Many women continue to face cases of sexual abuse in biological relationships between husband and wife, sometimes known as marital rape. This phenomenon is often considered taboo to be discussed, conveyed, and addressed. So in turn, the phenomenon of marital rape becomes a problem that cannot be resolved immediately. In particular, the main question in this research is how Islamic law views the phenomenon of marital rape in husband-and-wife relations and whether the urgency of sexual consent from the mubadalah perspective is a step to prevent marital rape. This research is included in the category of library research with a qualitative approach, data collection techniques with documentation types, data processing techniques with descriptive-analytic methods, and an analytical framework with mubādalah theory. The results of this study show that the act of marital rape due to unequal sexual relations between husband and wife is part of an act of violence, both physically and psychologically. Islam prohibits sexual intercourse through coercion and violence. Husband-wife relationships in any condition must have an element of pleasure from each party, meaning that there should be no coercion from both. Thus, sexual consent education needs to be pursued to become a preventive spirit and safe behaviour for instilling a foundation of mutual respect between individuals. This is expected to pave the way for married couples to enjoy a healthy and happy relationship for both parties.masih banyak dialami oleh perempuan. Fenomena ini sering dianggap tabu untuk dibicarakan, disampaikan dan disikapi. Sehingga pada gilirannya fenomena marital rape menjadi permasalahan yang tidak segera ditanggulangi. Secara spesifik, pertanyaan utama dalam penelitian ini ialah bagaimana hukum Islam memandang fenomena marital rape dalam hubungan suami istri dan bagaimana urgensi sexual consent perspektif mubadalah sebagai upaya preventif terjadinya martial rape. Kajian ini termasuk pada kategori penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data jenis dokumentasi, teknik pengolahan data dengan metode deskriptif-analisis, dan kerangka analisa dengan teori mubādalah. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa tindakan marital rape akibat hubungan seksual yang tidak seimbang antara suami istri merupakan bagian dari tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Islam melarang hubungan seksual dengan paksaan dan kekerasan. Hubungan suami istri dalam kondisi apapun harus ada unsur kesenangan dari masing-masing pihak, artinya tidak boleh ada unsur paksaan dari keduanya. Dengan demikian, pendidikan sexual consent perlu diupayakan guna menjadi semangat preventif dan safe behaviour dalam menanamkan landasan saling menghargai antar individu. Hal ini diharapkan mampu membuka jalan untuk pasangan suami istri agar dapat menikmati hubungan yang sehat dan membahagiakan bagi kedua belah pihak.
Interpretasi Kontekstual Makna Qawwām Dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa’ 34: Aplikasi Hermeneutika Abdullah Saeed Zakiah, Ade Rosi Siti; Nurfajriyani, Nurfajriyani
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.22972

Abstract

The phrase "arrijalu qawwāmuna ‘ala an-nisa’" from the excerpt of Surah An-Nisa' verse 34 in classical and medieval exegesis has been used as a justification for depicting the superiority of male leadership, later known as patriarchal culture. This culture has led to the perception that women are incapable of assuming roles equal to men, both in the domestic and public spheres. In fact, this verse has been used as an argument by many to prevent women from becoming leaders. The aim of this research is to understand the meaning of "qawwām" in the interpretation of Surah An-Nisa' verse 34 and to explore the contextualization and value hierarchy of this verse in contemporary times. This study falls into the category of library research with a normative-historical approach. The analytical theory used is the contextual hermeneutics of Abdullah Saeed. The findings of this study reveal that the intended leadership of men over women as desired by the Qur'an is a leadership that signifies protection, care, authority, and fulfilling the needs of women. The value hierarchy based on this verse emphasizes justice in the form of equal opportunities for men and women to be leaders in both the domestic and public spheres. Therefore, it is clear that female leadership is not prohibited or even forbidden. Women can assume leadership roles in any field without being hindered by patriarchal culture. The substantive meaning derived from the application of this contextual hermeneutical method can be applied in different times and places, such as when understanding this verse in the current context of Indonesian society.  Abstrak: Kalimat arrijalu qawwāmuna ‘ala an-nisa’ pada penggalan surah an-Nisa’ ayat 34 dalam tafsir klasik dan abad pertengahan digunakan sebagai pembenaran untuk menggambarkan superioritas kepemimpinan laki-laki dan kemudian dikenal dengan budaya patriarki. Budaya ini menyebabkan perempuan dianggap tidak mampu menduduki peran laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Bahkan, ayat ini dijadikan dasar argumentasi oleh banyak pihak untuk mencegah perempuan menjadi pemimpin. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana makna qawwām dalam penafsiran surah An-Nisa’ ayat 34 dan bagaimana kontekstualisasi serta hierarki nilai surah an-Nisa’ ayat 34 di masa kini. Kajian ini termasuk pada kategori penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan normatif-historis. Teori analisis yang digunakan ialah hermeneutika kontekstual Abdullah Saeed. Adapun hasil dari kajian ini menemukan bahwa maksud kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang dikehendaki Al-Qur’an ialah kepemimpinan yang memiliki arti menjaga, melindungi, menguasai, dan mencukupi kebutuhan perempuan. Adapun hierarki nilai berdasarkan ayat ini adalah bentuk keadilan berupa kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin di ranah domestik maupun publik. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan perempuan itu tidaklah dilarang atau bahkan diharamkan. Perempuan dapat menjadi pemimpin dalam bidang apapun tanpa didorong oleh adanya budaya patriarki. Makna substansi yang didapatkan dari penerapan metode hermeneutika kontekstual ini dapat diaplikasikan dalam waktu dan tempat yang berbeda, seperti ketika ayat ini dipahami dengan konteks bangsa Indonesia saat ini.
The Marital Rape Phenomenon as A Form of Gender Oppression: An Analysis of the Urgency of Sexual Consent Mubādalah's Perspective Zakiah, Ade Rosi Siti; Nasiruddin, Muhammad; Naf'an, Abdul Wahab; Andania, Ruqoyyah Amilia
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol. 7 No. 2 (2023): December 2023
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/humanisme.v7i2.8104

Abstract

Many women continue to face cases of sexual abuse in biological relationships between husband and wife, sometimes known as marital rape. This phenomenon is often considered taboo to be discussed, conveyed, and addressed. So in turn, the phenomenon of marital rape becomes a problem that cannot be resolved immediately. In particular, the main question in this research is how Islamic law views the phenomenon of marital rape in husband-and-wife relations and whether the urgency of sexual consent from the mubadalah perspective is a step to prevent marital rape. This research is included in the category of library research with a qualitative approach, data collection techniques with documentation types, data processing techniques with descriptive-analytic methods, and an analytical framework with mubādalah theory. The results of this study show that the act of marital rape due to unequal sexual relations between husband and wife is part of an act of violence, both physically and psychologically. Islam prohibits sexual intercourse through coercion and violence. Husband-wife relationships in any condition must have an element of pleasure from each party, meaning that there should be no coercion from both. Thus, sexual consent education needs to be pursued to become a preventive spirit and safe behaviour for instilling a foundation of mutual respect between individuals. This is expected to pave the way for married couples to enjoy a healthy and happy relationship for both parties.masih banyak dialami oleh perempuan. Fenomena ini sering dianggap tabu untuk dibicarakan, disampaikan dan disikapi. Sehingga pada gilirannya fenomena marital rape menjadi permasalahan yang tidak segera ditanggulangi. Secara spesifik, pertanyaan utama dalam penelitian ini ialah bagaimana hukum Islam memandang fenomena marital rape dalam hubungan suami istri dan bagaimana urgensi sexual consent perspektif mubadalah sebagai upaya preventif terjadinya martial rape. Kajian ini termasuk pada kategori penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data jenis dokumentasi, teknik pengolahan data dengan metode deskriptif-analisis, dan kerangka analisa dengan teori mubādalah. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa tindakan marital rape akibat hubungan seksual yang tidak seimbang antara suami istri merupakan bagian dari tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Islam melarang hubungan seksual dengan paksaan dan kekerasan. Hubungan suami istri dalam kondisi apapun harus ada unsur kesenangan dari masing-masing pihak, artinya tidak boleh ada unsur paksaan dari keduanya. Dengan demikian, pendidikan sexual consent perlu diupayakan guna menjadi semangat preventif dan safe behaviour dalam menanamkan landasan saling menghargai antar individu. Hal ini diharapkan mampu membuka jalan untuk pasangan suami istri agar dapat menikmati hubungan yang sehat dan membahagiakan bagi kedua belah pihak.