Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Exploring Abhakalan Culture (Early Marriage) in Madura: A Dialogue of Customary Law, Religion, and The State Setiyawan, Deni; Wahyuningsih, Sri Endah; Hafidz, Jawade; Mashdurohatun, Anis; Benseghir, Mourad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.36070

Abstract

This study explores the culture of Abhakalan in Madura in the context of early marriage, analyzing its intersections with customary law, religion, and the state. While aimed at preserving family honor, this practice often prioritizes the principle of ḍarran (harm), leading to gender inequality and injustices toward women. The research seeks to evaluate the implications of this cultural practice on women's rights and gender equality, using an empirical legal method grounded in conflict theory and social change, combined with Islamic concepts of ‘urf (accepted custom), naf'an (benefit), and ḍarran (harm). Findings indicate that Abhakalan culture denies women agency in marriage decisions, perpetuating stereotypes of female inferiority and limiting their opportunities for empowerment and education. This study highlights the need for cultural reform through gender advocacy, mindset shifts, and family economic empowerment. By fostering dialogue among customary law, religion, and state policies, the research underscores pathways to equitable and sustainable gender equality. AbstrakPenelitian ini mengkaji budaya Abhakalan di Madura dalam konteks pernikahan dini dengan menganalisis keterkaitannya dengan hukum adat, agama, dan negara. Meskipun bertujuan menjaga kehormatan keluarga, praktik ini sering mengedepankan prinsip ḍarran (bahaya) yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan dan ketimpangan gender. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak budaya ini terhadap hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, menggunakan metode hukum empiris yang berlandaskan teori konflik dan perubahan sosial, serta konsep Islam seperti ‘urf (adat yang diterima), naf’an (manfaat), dan ḍarran (kerugian). Temuan menunjukkan bahwa budaya Abhakalan mengabaikan hak perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pernikahan, memperkuat stereotip inferioritas perempuan, serta membatasi peluang pendidikan dan pemberdayaan mereka. Penelitian ini menekankan pentingnya reformasi budaya melalui advokasi gender, perubahan pola pikir, dan pemberdayaan ekonomi keluarga, dan dengan mendorong dialog antara hukum adat, agama, dan kebijakan negara, studi ini menawarkan langkah menuju kesetaraan gender yang adil dan berkelanjutan
Between Reconciliation and Rights: The Judge Role in Child Advocacy in Algeria and Indonesia Chami, Yassine; Benseghir, Mourad; Alshawabkeh, Mohammad Abdallah; Putri, Viorizza Suciani
Journal of Law and Legal Reform Vol. 6 No. 1 (2025): January, 2025
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jllr.v6i1.6901

Abstract

This research highlights the significant differences in how Algerian and Indonesian legal system approach reconciliation during the divorce process, particularly concerning the protection of children’s rights. Through an analysis of legal documents and relevant literature, this study evaluates the practical application of these legal provisions. The findings indicate that, although reconciliation efforts are required by law, failure to carry out such efforts does not impact the validity of the divorce decision. This underscores the notion that reconciliation should be pursued as a meaningful effort without altering the essence of divorce law. This research also highlights the need for a more integrated approach that combines legal security and child protection in the context of divorce.
Exploring Abhakalan Culture (Early Marriage) in Madura: A Dialogue of Customary Law, Religion, and The State Setiyawan, Deni; Wahyuningsih, Sri Endah; Hafidz, Jawade; Mashdurohatun, Anis; Benseghir, Mourad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 24 No. 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.36070

Abstract

This study explores the culture of Abhakalan in Madura in the context of early marriage, analyzing its intersections with customary law, religion, and the state. While aimed at preserving family honor, this practice often prioritizes the principle of ḍarran (harm), leading to gender inequality and injustices toward women. The research seeks to evaluate the implications of this cultural practice on women's rights and gender equality, using an empirical legal method grounded in conflict theory and social change, combined with Islamic concepts of ‘urf (accepted custom), naf'an (benefit), and ḍarran (harm). Findings indicate that Abhakalan culture denies women agency in marriage decisions, perpetuating stereotypes of female inferiority and limiting their opportunities for empowerment and education. This study highlights the need for cultural reform through gender advocacy, mindset shifts, and family economic empowerment. By fostering dialogue among customary law, religion, and state policies, the research underscores pathways to equitable and sustainable gender equality. AbstrakPenelitian ini mengkaji budaya Abhakalan di Madura dalam konteks pernikahan dini dengan menganalisis keterkaitannya dengan hukum adat, agama, dan negara. Meskipun bertujuan menjaga kehormatan keluarga, praktik ini sering mengedepankan prinsip ḍarran (bahaya) yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan dan ketimpangan gender. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak budaya ini terhadap hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, menggunakan metode hukum empiris yang berlandaskan teori konflik dan perubahan sosial, serta konsep Islam seperti ‘urf (adat yang diterima), naf’an (manfaat), dan ḍarran (kerugian). Temuan menunjukkan bahwa budaya Abhakalan mengabaikan hak perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pernikahan, memperkuat stereotip inferioritas perempuan, serta membatasi peluang pendidikan dan pemberdayaan mereka. Penelitian ini menekankan pentingnya reformasi budaya melalui advokasi gender, perubahan pola pikir, dan pemberdayaan ekonomi keluarga, dan dengan mendorong dialog antara hukum adat, agama, dan kebijakan negara, studi ini menawarkan langkah menuju kesetaraan gender yang adil dan berkelanjutan