Ketimpangan Pemilikan dan Penguasaan Tanah berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia, karena Sebagian besar penduduk masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya pada pemanfaatan tanah dan hasil-hasilnya. Upaya memiminimalisir ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan reorientasi, yang dilanjutkan dengan rekonstruksi hukum agraria nasional, khususnya hukum tanah. Existing Condition pengelolaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan perundang-undangan mengarah pada konsep hukum perdata barat, yang menempatkan tanah sebatas komoditas, bukan sebagai asset. Hal ini menunjukkan pembentukan peraturan perundang-undangan pelaksanaan UUPA teridentifikasi menyimpang dari amanat Undang-Undang Pokok Agraria yang menempatkan Hukum Adat sebagai dasar pengaturannya, dengan prioritas pemilikan/penguasaan tanah pada rakyat, berdasarkan kedudukannya sebagai Natuurlijke Persoon atas dasar hubungan yang bersifat magis religius. Kajian normatif ini membahas konsep hukum hukum asli pengelolaan dan pemanfatan tanah oleh organisasi masyarakat hukum adat/penguasa adat, maupun individu sebagai anggota masyarakat hukum adat, serta menawarkan konsep yang seharusnya diambil berdasarkan hukum adat semende dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan agraria nasional, khususnya hukum tanah. Berdasarkan kajian yang dilakukan ditemukan konsep hukum tanah asli semede bahwa, pada hakekatnya tanah adalah milik Tuhan. Tuhan menetapkan hak memanfaatkan tanah bagi manusia, dan Pengelolaan dan pemanfaatan tanah tersebut dilakukan dibawah pimpinan penguasa adat berdasarkan pembedaan kepentingan umum dan kepentingan pribadi, bukan dalam arti pemisahan, sebagai upaya menjaga akses individu sebagai anggota paguyuban masyarakat hukum adat terhadap tanah tetap terjamin.