Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna peletakan tanduk kerbau pada kuburan dalam kematian saur matua adat Batak Toba di Desa Lumban Purba Sosorgonting, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan empiris-analisis-reflektif melalui wawancara terbuka. Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat desa Lumban Purba yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan sampel yang dipakai dalam penelitian ini yakni 10 orang tokoh dan tetua adat di daerah Lumban Purba Sosorgonting dan beberapa desa lainnya yang terdapat pada daerah Humbang Hasundutan yang dipilih secara selektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perubahan makna terhadap peletakan tanduk kerbau sebelum dan sesudah kekristenan. 1. Sebelum masuknya kekristenan makna peletakan tanduk kerbau pada kuburan yaitu: a. Sebagai pertanda bahwa yang meninggal tersebut sudah menyelesaikan adat saur matua. b. Sebagai pertanda bagi orang yang melihat kuburan tersebut bahwa orang yang meninggal tersebut adalah orang saur matua (orang tua yang memiliki umur yang panjang dan sudah memiliki keturunan dari anaknya yang laki-laki dan perempuan) dalam adat Batak. 2. Namun setelah masuknya ajaran kekristenan yang ditinjau dalam perspektif Richard niebuhr kemudian sedikit berubah makna. Sekarang peletakan tanduk kerbau pada kuburan mulai dipahami sebagai simbolis jalan untuk menyampaikan persembahan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan karena sudah memberikan kelancaran pada saat menyelesaikan adat saur matua dan sudah mencapai tingkatan kematian tertinggi dalam adat Batak yakni memberikan umur panjang sampai melihat keturunan dari anaknya laki-laki dan perempuan. Dari perspektif Richard Niebuhr hasil penelitian mengemukakan bahwa relasi agama dan budaya di Desa Lumban Purba Sosorgonting lebih tepatnya ialah agama akan selalu sejalan dengan adat dan agama telah mentransformasikan budaya. Hal ini dapat dilihat dengan mentransformasikan yang artinya mengubah sedikit pemaknaan upacara tersebut dimana kita semula hanya sebagai pertanda sudah saur matua dan sudah menyelesaikan adat saur matua, sekarang kita mengucapkan rasa syukur kita sudah boleh mencapai tingkatan kematian tertinggi dalam adat Batak (saur matua).