Claim Missing Document
Check
Articles

Beritakan Injil Kepada Segala Makhluk Gea, Ibelala
BIA Vol 1, No 1 (2018): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.73 KB) | DOI: 10.34307/b.v1i1.19

Abstract

This article aims to describe the results of research on how to preach the gospel to all beings, based on Mark 16:15-16. Preaching the gospel is a great commission from the Lord Jesus to His followers after His resurrection from the dead. The world is the address of the gospel preaching, not only to man but to all beings.The Gospel writer of  Mark wants to explain that the world is synonymous with evil, therefore the gospel serves to salt the evil world, so when Iniil is preached to the wicked, it is expected to change the mindset and human behavior.Greedy and greedy human behavior that only views nature as a commodity. Human evil is seen when only the task of exploiting natural resources and forget the responsibility of caring for, nurturing nature and the environment. Gospel preaching aims to awaken peoples not only to view nature as power (dominio) but as a fellow of creatures, and friends (communio). Preach the gospel to all beings and receiving each other with referring to reduce, reuse, recycle and replace as a responsibility to God who has given the mandate for us. AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian tentang bagaimana memberitakan Injil kepada  seluruh makhluk, bertolak dari Markus 16:15-16. Memberitakan Injil adalah amanat agung dari Tuhan Yesus kepada para pengikut-Nya setelah kebangkitan-Nya dari antara orang mati.Dunia adalah sebagai alamat pemberitaan Injil, bukan hanya kepada manusia melainkan kepada segala makhluk. Penulis Injil Markus hendak menjelaskan bahwa dunia identik dengan kejahatan, sebab itu Injil berfungsi menggarami dunia yang penuh kejahatan itu, karena itu ketika Iniil diberitakan kepada orang-orang jahat, diharapkan akan mengubah mindset dan perilaku manusia. Perilaku manusia yang serakah dan tamak yang hanya memandang alam sebagai komoditi. Kejahatan manusia terlihat ketika hanya bertugas mengeksploitasi sumber-sumber daya alam dan lupa pada tanggung jawab merawat, memelihara alam dan lingkungan hidupnya.  Pemberitaan Injil menyadarkan manusia agar tidak hanya memandang alam sebagai kekuasaan (dominio) tetapi sebagai sesama ciptaan, sahabat yang bersifat communio. Memberitakan Injil kepada seluruh makhluk dan menghargai segala makhluk dengan saling memberi dan menerima dengan mengacu pada pola-pola reduce, reuse, recycle dan replace sebagai tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberi amanat.
5 (LIMA) NILAI BUDAYA KERJA KEMENTRIAN AGAMA (Analisis dari Injil Sinoptis) IBELALA GEA
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 2, No 1 (2016): KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v2i1.30

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian tentang konsep teori 5 (lima) nilai budaya kerja Kementerian Agama  dan bagaimana analisis aplikasinya menurut Injil Sinoptis. Temuan penelitian menunjuk bahwa Injil Sinoptis (Matius, Markus, dan Lukas) memberitakan bahwa jauh sebelum ada teori nilai budaya kerja (integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan), Yesus telah mengajarkan dan melakukannya. Injil sinoptis memberitakan  bahwa Yesus telah mengajarkan kejujuran baik perkataan dan perbuatan (Matius 5:37; Markus 12:13; Lukas 16:8). Profesionalitas mendapat perhatian dari pengajaran Yesus (Lukas 5:1-11) dimana keahlian sangat didorong untuk dimiliki oleh semua orang, namun harus tetap rendah hati dan mengutamakan kuasa Tuhan dalam segala hal.  Inovasi adalah usaha untuk selalu mengalami peningkatan melalui berbagai kreasi dan teknologi, namun kemajuan harus didapat dengan cara-cara yang benar. Demikian inovasi sebaiknya didasarkan pada peraturan dan kehendak Tuhan. Di dalam Inji Sinoptis memberitakan tentang tanggungjawab. Dimana setiap orang diharapkan bertanggungjawab pada setiap perbuatan dan tindakannya, bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia, tetapi juga kepada Allah sebagai penerima tanggungjawab akhir (Matius 25:21-28).Sedangkan nilai budaya kerja keteladanan, kitab Injil memberitakan bahwa Yesus mengajarkan supaya setiap orang harus menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan. Lebih jauh Injil Matius 20:28 dan markus 10:45, bahwa Yesus telah membuat pernyataan bahwa Ia datang ke dunia untuk melayani dan bukan dilayani. 
ALLAH MENJADI MANUSIA Sebuah Uraian Teologis IBELALA GEA
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 2, No 2 (2016): KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v2i2.37

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan apa motif dan tujuan teologis mengapa Allah menjadi manusia, dan bagaimana cara rasul Yohanes menjelaskan secara kontekstual, hingga dapat difahami oleh para pembaca dan pendengar, khususnya sebagaimana yang dijumpai pada prolog Injil Yohanes 1:1-18. Hasil penelitian adalah bahwa rasul Yohanes menggunakan istilah “Logos” untuk menjelaskan bagaimana prosesnya Allah menjadi manusia atau Firman yang menjadi daging; dengan tetap mengakar pada  pemahaman Yudaisme dimana oleh Hokmah-Yahwe yakni melalui “Dabar Yahwe” telah menciptakan alam semesta (kejadian 1:1). Yohanes memahami sebagaimana Allah oleh Firman-Nya telah menciptakan langit dan bumi dalam konsepsi dan pola pikir Yudaisme. Sebab itu Yohanes memperkenalkan ke-Illahi-an Yesus yang se-zat dan setara dengan Allah, sebagaimana Allah sama dengan Firman-Nya. Untuk menjelaskan hal itu, Yohanes memberitakan eksistensi Yesus Kristus sejak pra-eksistensi yakni sebelum kemenjadian Yesus Kristus menjadi daging, yakni pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, Yohanes 1:1 (In the begining was the Word, and the Word was God). Kemenjadian Allah menjadi manusia adalah tindakan resposisi diri Allah untuk berkomunikasi dengan manusia berdosa dan bersifat final, setelah berulang kali Dia berfirman kepada manusia (Ibrani 1:1-3). Sebab itu Yesus Kristus adalah sebagai kepenuhan Allah atau Pleromai (Yohanes 1:16; Kolose 1:19). Maka berdasarkan fungsi dan eksistensi Yesus Kristus sebagai finalisasi kepenuhan Allah, maka Yesus Kristus menjadi sumber kasih karunia, sehingga hanya dalam Dia, kasih karunia Allah dapat diterima, bukan yang lain (Yohanes 14:6).
BERITAKAN INJIL KEPADA SEGALA MAKHLUK (Sebuah Uraian Ekologi-Teologis) Ibelala Gea
Jurnal Christian Humaniora Vol 2, No 2 (2018): November
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46965/jch.v2i2.99

Abstract

Artikel ini bertujuan mendeskripsikan hasil penelitian tentang bagaimana memberitakan Injil kepada  seluruh makhluk, bertolak dari Markus 16:15-16. Dunia adalah sebagai alamat pemberitaan Injil, bukan hanya kepada manusia melainkan kepada segala makhluk. Penulis Injil Markus hendak menjelaskan bahwa dunia identik dengan kejahatan, sebab itu Injil berfungsi menggarami dunia yang penuh kejahatan itu, karena itu ketika Iniil diberitakan kepada orang-orang jahat, diharapkan akan mengubah mindset dan perilaku manusia. Perilaku manusia yang serakah dan tamak yang hanya memandang alam sebagai komoditi. Pemberitaan Injil adalah menyadarkan manusia agar tidak hanya memandang alam sebagai kekuasaan (dominio) tetapi sebagai sesama ciptaan, sahabat yang bersifat communio.Kata Kunci: Injil dan Segala makhluk
Makna Persembahan Persepuluhan Dan Relevansinya Pada Gereja Masa Kini Ibelala Gea; Merida Gea
Areopagus : Jurnal Pendidikan Dan Teologi Kristen Vol 19, No 2 (2021): September
Publisher : IAKN Tarutung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46965/ja.v19i2.700

Abstract

Abstrak:Artikel ini menggunakan metode  kualitatif dan pendekatan literatur dengan analisis deskriptif teks Maleakhi 3:10, guna menjelaskan objek  penelitian secara presisi. Sebab itu tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan pemahaman yang benar tentang persembahan persepuluhan. Hal itu dipandang penting karena berbagai pemahaman warga  jemaat yang simpangsiur, diantaranya adanya kelompok yang memberi persepuluhan bukan karena telah memahami teks Maleakhi 3:10, yang penting bagi mereka melaksanakan sesuai dengan apa yang tertulis lagi pula menunjukkan bahwa mereka mendukung program gereja, walaupun nominal persepuluhan mereka tidak sesuai dengan tuntutan Maleakhi 3:10. Kelompok lain memberi persepuluhan mengikuti sebagaimana perintah Maleakhi 3:10, yakni sepersepuluh dari pendapatan mereka perbulan. Sedangkan kelompok yang lain meyakini bahwa Persepuluhan tidak wajib, karena persepuluhan sejak awal diperuntukkan  bagi para imam yang spesial mefokuskan diri melayani Tuhan dan mereka tidak mendapatkan hak milik seperti tanah dan lain-lain, mereka hidup dari persepuluhan umat Israel. Dengan demikian jika Persepuluhan diterapkan sesuai Maleakhi 3:10 di gereja masa kini, maka sebaiknya para pelayanan seperti Pendeta tidak wajib diberi gaji  perbulan serta fasilitas lainnya seperti rumah, air, listrik, dan lain-lain sebagaimana tradisi diberbagai gereja masa kini. Maka persepuluhan menjadi kewajiban bagi seluruh warga gereja serta disesuaikan berasaran nominalnya sebagaimana perintah pada Maleakhi 3:10. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa persembahan persepuluhan memiliki latar belakang sejarah dari budaya Timur Tengah yang kemudian diadopsi oleh Abraham dan Yakub serta dijadikan sebagai kewajiban  setelah pembuangan sebagaimana dijumpai dalam Malekhi 3:10. Akan tetapi  secara teologi persembahan persepuluhan umat Kristen seharusnyan tidak dibatasi oleh angka atau nominal. Sebab persembahan yang sesungguhnya adalah tubuh, jiwa,dan  roh sebagai persembahan yang hidup.Kata Kunci: persembahan persepuluhan, relevansi gereja masa kini Abstract:This article uses qualitative methods and a literature approach with descriptive analysis of the text of Malachi 3:10, in order to explain the object of research with precision. Therefore the aim of the study is to explain the correct understanding of tithing offerings. This is seen as important because of the different understandings of the members of the congregation, including the existence of a group that gives tithing not because they have understood the text of Malachi 3:10, which is important for them to carry out in accordance with what is written also shows that they support the church program, even though the amount of their tithe does not match the demands of Malachi 3:10. Another group tithe following as Malachi 3:10 commanded, which is one tenth of their monthly income. While other groups believe that tithing is not mandatory, because tithing was originally intended for priests who are specifically focused on serving God and they do not get property rights such as land and others, they live from the tithe of the Israelites. Thus if tithing is applied according to Malachi 3:10 in the church, then it is better for ministers such as Pastors not to be paid a salary monthly and other facilities such as houses, water, electricity, and other as is the tradition in various churches today. So, tithing becomes an obligation for all church members and is adjusted according to the nominal value as instructed in Malachi 3:10. From the results of the study it is concluded that tithe offering has a historical background from Middle Eastern culture which was later adopted by Abraham and Jacob and made as an obligation after the exile as found in Malachi 3:10. However , theologically Christian tithes should not be limited by number or nominal. For the true offering is body, soul, and spirit as living sacrifices.Keywords: tithing offering, relevance of today's church
SALIB KRISTUS SEBAGAI SIMBOL KEKERASAN UMAT YAHUDI (Studi Teologis Matius 26:1-5 Diperhadapkan dengan Kondisi Indonesia Masa Kini) Ibelala Gea
Jurnal Teologi Cultivation Vol 3, No 1 (2019): Juli
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46965/jtc.v3i1.256

Abstract

AbstractThe research in this article aims to explain that theologically, the crucifixion of Christ as a symbol of the violence of the Jews hide behind the Roman law, and confronted with the condition of present-day Indonesia.To explain the violence that comes from Matthew 26: 1-5 as a basis for the discussions were enriched by a number of violence-related references.The results showed that violence as the imposition of the will to achieve the goals, whether individuals, groups and institutions.Violence tangible crucifixion of Jesus was hiding behind the guise of religious Jews, laden with engineering, which is the real Jesus was not guilty of what is charged to him.The Roman government represented Pilate dare not uphold justice, it can be called that trial and the verdict against Jesus is gray as a result of a compromise and government conspiracy with the leader of the majority religion, the Jewish religion.Violence in Indonesia, including violence against women, children and political violence as a sign of not respecting others.Lodging in the political violence, often triggered by the politicization of religion as a vehicle to achieve the goal by mobilizing the number of people that fanaticism and radicalism.Any violence is not in accordance with the will of God who loves the whole humanKeywords: Cross of Christ And Violence of Jewish People
PREACHING GOSPEL TO ALL CREATURES (An Ecological - Theological Description) Ibelala Gea
Jurnal Teologi Cultivation Vol 2, No 1 (2018): Juli
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46965/jtc.v2i1.185

Abstract

AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian tentang bagaimana memberitakan Injil kepada seluruh makhluk, bertolak dari Markus 16:15-16. Pemberitaan Injil adalah menyadarkan manusia agar tidak hanya memandang alam sebagai kekuasaan (dominio) tetapi sebagai sesama ciptaan, sahabat yang bersifat communio. Memberitakan Injil kepada seluruh makhluk dan menghargai segala makhluk dengan saling memberi dan menerima dengan mengacu pada pola-pola reduce, reuse, recycle dan replace sebagai tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberi amanat.Kata Kunci: Injil dan Segala makhlukAbstractThis article aims to describe the results of research on how to preach the gospel to all beings, based on Mark 16:15-16. Preaching the gospel is a great commission from the Lord Jesus to His followers after His resurrection from the dead. The world is the address of the gospel preaching, not only to man but to all beings.The Gospel writer of Mark wants to explain that the world is synonymous with evil, therefore the gospel serves to salt the evil world, so when Iniil is preached to the wicked, it is expected to change the mindset and human behavior.Greedy and greedy human behavior that only views nature as a commodity.Human evil is seen when only the task of exploiting natural resources and forget the responsibility of caring for, nurturing nature and the environment. Gospel preaching aims to awaken peoples not only to view nature as power (dominio) but as a fellow of creatures, and friends(communio).Preach the gospel to all beings and receiving each other with referring to reduce, reuse, recycle andreplace as a responsibility to God who has given the mandate for us.Keywords: gospel and All Creaturess.
KEPEMIMPINAN YESUS TELADAN PEMIMPIN MASA KINI Ibelala Gea
Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama Vol 3, No 2 (2020): J.VoW Vol 3. No. 2 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologia Wesley Methodist Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36972/jvow.v3i2.52

Abstract

Artikel ini bertujuan mendeskripsikan kepemimpinan manusia dengan kepemimpinan Yesus dan mengapa  kepemimpinan Yesus direkomendasikan sebagai teladan pemimpin masa kini. Metode penelitian menggunakan studi literatur dengan menganalisis, membandingkan dan menyimpulkan pendapat dari sebanyak 31 referensi, yaitu 18 jurnal ilmiah, 11 buku, 1 prosiding dan 1 Alkitab LAI. Hasil penelitian menyimpulkan kepemimpinan manusia cenderung mengutamakan kemampuan lahiriah seperti: kompentensi sumber daya manusia, strategi marketing komunikasi, metoda, materi yang dikemas dalam kesalehan, kesantunan yang bersifat drama dengan motif self interest. Kepemimpinan manusia cenderung menjadi sumber masalah di mana para pemimpin kurang mengaklimatisasi diri, bersahabat dengan orang–orang tertentu. Sehingga terbentuk kelompok pro-kontra dalam satu institusi, angkuh, senang dilayani dari pada melayani. Sedangkan kepemimpinan Yesus tidak mengabaikan kemampuan lahiriah, tetapi lebih mengutamakan  kepemimpinan dari hati berdasarkan kasih yang tulus ikhlas, tidak membedakan siapapun, musuh dikasihi dan dituntun-Nya kepada kebenaran. Yesus sebagai hamba, melayani dan bukan dilayani, bukan pencitraan. Dia bertindak sebagai gembala, tidak membiarkan seorang pun binasa, hadir di tengah-tengah  mereka yang menderita dan termarjinalkan. Seluruh kepemimpinan-Nya dan keputusan-Nya berdasarkan kehendak Allah, tidak mengorbankan siapapun. Kepemimpinan manusia cenderung tidak berintegritas, sedangkan Yesus mengutamakan integritas, hidup dalam kejujuran yang sempurna. Yesus mengajarkan bahwa “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat.5:37). Kepemimpinan Yesus relevan sebagai teladan bagi pemimpin masa kini.
EDUKASI TEOLOGI DALAM KELUARGA KRISTEN SEBAGAI PONDASI PREVENTIF RADIKALISME Ibelala Gea
Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama Vol 4, No 2 (2021): J.VoW Vol 4. No. 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologia Wesley Methodist Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36972/jvow.v4i2.95

Abstract

One of the factors in the emergence of radicalism is the misinterpretation of the Scriptures and the weak theological education in the family. Parents as the primary and first educators in fact tend to leave their assignments to other parties who do not necessarily educate their children properly. The impact of this bad and incorrect theological education tends to form a mindset of exclusivism and rejecting inclusivism that creates intolerant people, considers all who do not have the same opinion and belief as the address of violence that must be eradicated. The family, both in the Old and New Testament times, in this case the parents, has the obligation and responsibility to educate children to understand the essence of God properly and correctly to His people. This article uses the mix methods method by collecting data on 30 (thirty) members of the Whatsapp Group STM Marsiurupan Sipoholon District which aims to describe 5 (five) theological educational content in Christian families as a preventive foundation for radicalism, especially radicalism in the name of religion in a descriptive qualitative method. 5 (five) theological educational contents are (1) Educating children to understand the Scriptures properly and correctly; (2) Understanding the essence of One God; (3) Understanding the essence of God as a savior, (4) Understanding the essence of God as a preserver; and (5) Understanding the essence of God as loving and compassionate.
Beritakan Injil Kepada Segala Makhluk Ibelala Gea
BIA': Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual Vol 1, No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/b.v1i1.19

Abstract

This article aims to describe the results of research on how to preach the gospel to all beings, based on Mark 16:15-16. Preaching the gospel is a great commission from the Lord Jesus to His followers after His resurrection from the dead. The world is the address of the gospel preaching, not only to man but to all beings.The Gospel writer of  Mark wants to explain that the world is synonymous with evil, therefore the gospel serves to salt the evil world, so when Iniil is preached to the wicked, it is expected to change the mindset and human behavior.Greedy and greedy human behavior that only views nature as a commodity. Human evil is seen when only the task of exploiting natural resources and forget the responsibility of caring for, nurturing nature and the environment. Gospel preaching aims to awaken peoples not only to view nature as power (dominio) but as a fellow of creatures, and friends (communio). Preach the gospel to all beings and receiving each other with referring to reduce, reuse, recycle and replace as a responsibility to God who has given the mandate for us. AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian tentang bagaimana memberitakan Injil kepada  seluruh makhluk, bertolak dari Markus 16:15-16. Memberitakan Injil adalah amanat agung dari Tuhan Yesus kepada para pengikut-Nya setelah kebangkitan-Nya dari antara orang mati.Dunia adalah sebagai alamat pemberitaan Injil, bukan hanya kepada manusia melainkan kepada segala makhluk. Penulis Injil Markus hendak menjelaskan bahwa dunia identik dengan kejahatan, sebab itu Injil berfungsi menggarami dunia yang penuh kejahatan itu, karena itu ketika Iniil diberitakan kepada orang-orang jahat, diharapkan akan mengubah mindset dan perilaku manusia. Perilaku manusia yang serakah dan tamak yang hanya memandang alam sebagai komoditi. Kejahatan manusia terlihat ketika hanya bertugas mengeksploitasi sumber-sumber daya alam dan lupa pada tanggung jawab merawat, memelihara alam dan lingkungan hidupnya.  Pemberitaan Injil menyadarkan manusia agar tidak hanya memandang alam sebagai kekuasaan (dominio) tetapi sebagai sesama ciptaan, sahabat yang bersifat communio. Memberitakan Injil kepada seluruh makhluk dan menghargai segala makhluk dengan saling memberi dan menerima dengan mengacu pada pola-pola reduce, reuse, recycle dan replace sebagai tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberi amanat.
Co-Authors Agustina Hutagalung Albiner Siagian Andar Gunawan Pasaribu Anessa Mei Pasaribu Anton Sitorus Antonius, Seri Arip Surpi Sitompul Aritonang, Hanna Dewi Artariah Artariah Asima Putri Handayani Nababan Bambang TJ Hutagalung Benny Christian Hutabarat Bernhardt Siburian Binur Panjaitan Butar-butar, Grecetinovitria Dapot Damanik Elisamark Sitopu Eni Marlina Sihombing Erman Saragih Evi Ulina Turnip Fani Ayuni Purba Flesia Nanda Uli Boangmanalu Frengky Marpaung Grace Na Anantha Lumban Tobing Gultom, Rogate Artaida Tiarasi Harianja, Preciliana Harjaya Situmeang Hidayat F.H. Pasaribu Hisardo Sitorus Hombing , Herdiana Boru Indrayanto Tambun Keke Teguh Manik Kevin Halomoan Hutagalung Kurniawan, Garry Kusnanto Tri Anggoro Nainggolan Lestari Br Silaban Liyus Waruwu Louis M. Tambunan Lustani Samosir Marbun, Rencan Maria Widiastuti Martua Sihaloho Masniar H. Sitorus Meditatio Situmorang Mega Intan Tambunan Megawati Manullang Meli Afriani N Mely Triani Sihombing Merida Gea Monang Asi Sianturi Natalia Rotua Sianipar Nenobais, Mesakh Nino Sampe Tindih Sitohang Nisma Simorangkir Nurelni Limbong Oktober Tua Aritonang, Oktober Tua Oliver Hutagalung Pheter Simangunsong Purba, Helen Angelita Raikhapoor Raikhapoor Raykapoor Raykapoor Remita Nian Permata Zendrato Rencan C. Marbun Reni Herayani Manik Renisha Wikawanty Lumban Raja Rida Gultom Rike Yohana Simatupang Ririn Simanjuntak Riska Nadeak Rismawaty P Rajagukguk Rogate T.A. Gultom Roy Martin Siagian Rusmauli Simbolon Rusmayani Tambun Saragih, Meysi Grace Saragih, Ratna Seri Antonius Tarigan Sihombing, Nursalina Silalahi, Wolter Parlindungan Simion Diparuma Harianja Sisga Desriman Zebua Sitorus, Audi Murphy O. Situmorang, Meditatio Sofia Sri Soradinah Wau Tamba, Fetty Farida Tamba, Tiffany TARIGAN, IWAN SETIAWAN Thabita Mutiara Trivena Br Nadeak Tulus Tumanggor Tupa Pebrianti Lumbantoruan Warseto Freddy Sihombing Yenni Pranita Nababan Yersi Hotmauli Berutu Yubilate Chriswell Zebua