Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT TIDAK ATAS DENGAN PERMINTAAN SENDIRI DALAM KASUS IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPL DARI PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Gultom, Hasudungan; Syam, Fauzi; Arfa’I, Arfa’I
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 5 No 1 (2023): EDISI BULAN JANUARI
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v5i1.4805

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui aturan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Dengan Permintaan Sendiri Dalam Kasus Izin Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipl Dari Perspektif Kepastian Hukum. Izin perkawinan dan perceraian bagi seorang PNS yang dilakukan lebih dari seorang istri atau seorang suami dalam ikatan perkawinan siri tidak mencerminkan contoh yang baik di kalangan masyarakat, yang mana tindakan tersebut tentu saja bertolak belakang pada prinsip-prinsip yang tercantum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Disamping itu, Seorang Pegawai Negeri Sipil mempunyai kewajiban dan kode etik yang harus diperhatikan dan dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku dan merupakan pedoman dalam setiap perbuatan dan tingkah laku Pegawai Negeri Sipil. Seorang Pegawai Negeri Sipil memiliki kedudukan yang penting sebagai unsur aparatur negara karena merupakan penggerak pemerintahan. Bagi seorang seorang PNS yang keinginan untuk beristri lebih dari seorang juga dapat membuat Pegawai Negeri Sipil yang terhalang oleh izin daripada atasan atau pejabat, memilih untuk melanggar ketentuan izin dengan berpoligami tanpa izin atau secara diam-diam atau secara siri. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan walaupun disebutkan bahwa pada asasnya menggunakan asas monogami, tetapi juga mengatur tentang pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang jika dikehendaki. Akan tetapi Bagi Aparatur Sipil Negara yang ingin bercerai harus sesuai ketentuan yang berlaku, dan jika alasan Aparatur Sipil Negara yang bercerai tidak sesuai dengan ketentuan di atas maka tidak akan diberikan izin oleh pejabat yang bersangkutan. Alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah alasan yang sah dan dapat diterima
Kewenangan Pemerintah Provinsi Dalam Penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor di Indonesia Gultom, Anggiat Sahat Maruli; Zarkasi, A.; Arfa’i, Arfa’i
Badamai Law Journal Vol 10, No 1 (2025)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v10i1.21608

Abstract

Artikel ini bertujuan menganalisis kewenangan pemerintah Provinsi dalam penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang merupakan landasan penting dalam perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah daerah. Keterlambatan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur Penetapan NJKB tahun berjalan berdampak signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan pemerintah Provinsi dalam penetepan NJKB tahun sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada pelaksanaan kewenangan pemerintah Provinsi serta menciptakan ketidakpastian bagi pemilik kendaraan dan pihak dealer dalam pendaftaran dan pembayaran pajak. Kesimpulannya, diperlukan mekanisme yang lebih efisien dalam pengundangan peraturan guna menghindari kekosongan hukum, sehingga menjadi pedoman yang lebih jelas bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah Provinsi di masa mendatang.
Kekuatan Hukum Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Risdayanti, Risdayanti; Yarni, Meri; Arfa’I, Arfa’I
Journal of Accounting Law Communication and Technology Vol 2, No 2 (2025): Juli 2025
Publisher : CV. Rayyan Dwi Bharata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57235/jalakotek.v2i2.6281

Abstract

Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakuman sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam pelaksanaannya mengalami berbagai macam permasalahan, terutama dalam hal pelaksanaan atau eksekusi Putusan PTUN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis tentang pengaturan kekuatan hukum putusan yang telah memiliki hukum tetap namun tidak dapat dieksekusi dan apa akibat hukum pada putusan tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan jenis penelitian yuridis normatig, yang dikaji melalui pendekatan perundang-undangan. Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka, data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan karakternya Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu: Putusan Deklaratoir, Putusan Konstitutif, dan Putusan Kondemnatoir. Putusan yang memerlukan eksekusi hanya putusan kondemnatoir diatur dalam Pasal 97 ayat (9) sampai (11) UU Nomor 5 Tahun 1986. Putusan Mahkamah Agunng Nomor 319/K/TUN/2022 termasuk dalam karakter putusan kondemnatoir. Namun tidak dapat dilaksanakan sama sekali atau tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh Tergugat (non eksekutabel) karena pada saat keputusan hukum tetap dikeluarkan telah terjadi perubahan keadaan bahwa keputusan yang digugat telah selesai dilaksanakan.