Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

INTERSEX/DISORDERS OF SEXUAL DEVELOPMENT (DSD), GENDER DYSPHORIA (GD), SOGIESC CULTURE AND THEIR CONTROVERSY IN INDONESIA Zuraidy, Novia Angelina
Jurnal Kesehatan Tambusai Vol. 6 No. 1 (2025): MARET 2025
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jkt.v6i1.40728

Abstract

Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) dan Disorders of Sexual Development (DSD) merupakan kelainan bawaan yang mempengaruhi perkembangan anatomi organ reproduksi. Pengobatan AIS seringkali menimbulkan tantangan medis dan sosial, terutama yang berkaitan dengan konstruksi gender. Operasi rekonstruksi gender pada usia dini masih kontroversial karena risiko trauma psikologis dan ketidakpuasan di kemudian hari. Disforia gender (GD), yang terjadi pada 8,5–20% individu dengan DSD, mencerminkan ketidaksesuaian antara identitas gender dan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir, dan dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Di Indonesia, wacana Orientasi Seksual, Identitas dan Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seks (SOGIESC) masih menghadapi resistensi yang kuat karena norma budaya dan agama yang konservatif. Akibatnya, individu dengan perbedaan SOGIESC rentan mengalami diskriminasi fisik, psikis, dan seksual. Dalam konteks kebudayaan Indonesia, terdapat sejarah pengakuan gender non-biner seperti yang terjadi pada masyarakat Bugis, namun norma tersebut terkikis oleh dominasi nilai-nilai agama sejak era kolonialisme. Penelitian ini menyoroti pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pengelolaan AIS dan GD, termasuk menghormati keputusan individu terkait identitas gendernya. Kesadaran pemerintah dan pengakuan hukum diperlukan untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, serta mendorong masyarakat untuk menerima keberagaman gender sebagai bagian integral dari hak asasi manusia.
Association Between Body Roundness Index (BRI) and Waist-To-Height Ratio (WHTR) to Blood Glucose Levels Among Office Workers in Jakarta Zuraidy, Novia Angelina; Vetinly, Vetinly; Astiarani, Yunisa
Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO) Vol. 7 No. 2 (2025): Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO)
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/.v7i2.359

Abstract

Despite the absence of a statistically significant association between Body Roundness Index (BRI) and Waist-to-Height Ratio (WHtR) with blood glucose levels, this study underscores the practical value of both anthropometric indices as early screening tools for diabetes risk among office workers. The high proportion of participants classified as at risk—64.6% by BRI and 80% by WHtR—indicates a notable prevalence of central obesity, which is a well-established precursor to insulin resistance and hyperglycemia. In workplace health promotion programs, particularly within sedentary environments such as offices, simple, low-cost, and non-invasive tools like BRI and WHtR can facilitate routine screening for metabolic risks. These tools allow health practitioners and occupational health units to identify individuals with increased cardiometabolic risk and recommend timely lifestyle interventions, such as structured physical activity, dietary modifications, and regular glucose monitoring. Moreover, WHtR, which showed a higher sensitivity in this population, may serve as a more practical parameter for large-scale screenings. Given their ease of use and predictive potential, incorporating BRI and WHtR into employee health assessments may significantly enhance early detection and prevention efforts for diabetes mellitus. Future studies could explore their longitudinal predictive accuracy and integration into digital health platforms for continuous monitoring in workplace settings.