Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) dan Disorders of Sexual Development (DSD) merupakan kelainan bawaan yang mempengaruhi perkembangan anatomi organ reproduksi. Pengobatan AIS seringkali menimbulkan tantangan medis dan sosial, terutama yang berkaitan dengan konstruksi gender. Operasi rekonstruksi gender pada usia dini masih kontroversial karena risiko trauma psikologis dan ketidakpuasan di kemudian hari. Disforia gender (GD), yang terjadi pada 8,5–20% individu dengan DSD, mencerminkan ketidaksesuaian antara identitas gender dan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir, dan dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Di Indonesia, wacana Orientasi Seksual, Identitas dan Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seks (SOGIESC) masih menghadapi resistensi yang kuat karena norma budaya dan agama yang konservatif. Akibatnya, individu dengan perbedaan SOGIESC rentan mengalami diskriminasi fisik, psikis, dan seksual. Dalam konteks kebudayaan Indonesia, terdapat sejarah pengakuan gender non-biner seperti yang terjadi pada masyarakat Bugis, namun norma tersebut terkikis oleh dominasi nilai-nilai agama sejak era kolonialisme. Penelitian ini menyoroti pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pengelolaan AIS dan GD, termasuk menghormati keputusan individu terkait identitas gendernya. Kesadaran pemerintah dan pengakuan hukum diperlukan untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, serta mendorong masyarakat untuk menerima keberagaman gender sebagai bagian integral dari hak asasi manusia.