Bahasa Indonesia wajib dicantumkan dalam perjanjian internasional, pengharusan tersebut diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, namun dalam praktik masih sering dijumpai perjanjian yang tidak mencantumkan penggunaan bahasa Indonesia. Ketiadaan sanksi yang jelas terkait kewajiban tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai implikasi yuridis dari ketentuan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis norma hukum positif melalui kajian dokumen dan literatur hukum. Fokus utama penelitian adalah Implikasi Yuridis Tidak Dicantumkannya Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Kontrak Antara WNI dengan Pihak Asing Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009. Kata “wajib” dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 merupakan norma imperatif yang mengikat para pihak. Dalam Putusan Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar, majelis hakim menilai telah terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif, sehingga secara yuridis perjanjian tersebut batal demi hukum menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2009. Dalam penyusunan perjanjian, hal-hal yang terkandung di dalamnya wajib diperhatikan. Pencantuman bahasa Indonesia dalam perjanjian kontrak dengan pihak asing diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009. Putusan Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar membuktikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia bukan hanya formalitas, tetapi kewajiban hukum yang menimbulkan konsekuensi yuridis nyata.