Penelitian ini bertujuan menganalisis tantangan volunteerisme lingkungan di Papua dalam konteks Otonomi Khusus, deforestasi, dan perubahan iklim. Metode yang digunakan adalah studi literatur kualitatif dengan pendekatan systematic review terhadap 20 sumber sekunder (jurnal, laporan institusional, dokumen kebijakan) tahun 2015–2023. Teknik analisis tematik mengidentifikasi empat tantangan utama: (1) ketergantungan pada pendanaan eksternal tidak berkelanjutan, (2) resistensi industri ekstraktif yang didukung ambivalensi kebijakan, (3) fragmentasi koordinasi akibat kendala geografis, dan (4) dampak perubahan iklim yang memperburuk kerentanan ekologis. Hasil penelitian menunjukkan 72% kelompok relawan di Jayapura bergantung pada dana proyek jangka pendek, sementara 65% izin usaha pertambangan dan perkebunan (2019–2023) mengabaikan konsultasi masyarakat adat. Di sisi lain, volunteerisme berpotensi menjadi kontra-narasi pembangunan melalui inisiatif berbasis komunitas yang memadukan pengetahuan lokal dan teknologi. Simpulan penelitian menekankan perlunya reorientasi kebijakan Otonomi Khusus dengan memperkuat alokasi anggaran partisipatif, perlindungan hukum bagi relawan, dan integrasi kearifan lokal dalam tata kelola lingkungan untuk menjembatani kesenjangan antara agenda pembangunan dan keberlanjutan ekologis.This study aims to analyze the challenges of environmental volunteerism in Papua within the context of Special Autonomy, deforestation, and climate change. The method used is a qualitative literature study with a systematic review approach to 20 secondary sources (journals, institutional reports, policy documents) from 2015–2023. Thematic analysis identified four main challenges: (1) reliance on unsustainable external funding, (2) resistance from extractive industries supported by policy ambivalence, (3) fragmented coordination due to geographical constraints, and (4) the impact of climate change exacerbating ecological vulnerability. Results show that 72% of volunteer groups in Jayapura depend on short-term project funds, while 65% of mining and plantation permits (2019–2023) ignored community consultations. On the other hand, volunteerism has the potential to become a counter-narrative to development through community-based initiatives that integrate local knowledge and technology. The conclusion emphasizes the need to reorient Special Autonomy policies by strengthening participatory budgeting, legal protection for volunteers, and integrating local wisdom into environmental governance to bridge the gap between development agendas and ecological sustainability.