sukarna, kadi
Dosen Magister Hukum Universitas Semarang

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PERAN KOMISI INFORMASI PUBLIK DALAM PROSES EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN SENGKETA INFORMASI YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP DALAM TINJAUAN UU NO.14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Slamet Haryanto; Kadi Sukarna
Jurnal Ius Constituendum Vol 2, No 1 (2017): April
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.465 KB) | DOI: 10.26623/jic.v2i1.546

Abstract

The community as the users of information has sufficiently important rights in the context of information disclosure. When the right to obtain information isinhibited because the public entity or governor is not available in the execution ofthe information disclosure management, then public information lawsuit willemerge in the implementation of the public information disclosure. The public information lawsuit happens when public entity and the user ofinformation disputes with something related to the rights to acquire informationand to use information based on legislation. The completion of the lawsuitthrough nonlitigation ajudication is the process of the completion of publicinformation lawsuit. The completion of the information through nonlitigationajudication is hopefully able to resolve the dispute fast, low cost, and simple. The problems in this thesis are: a) how the mechanisms of the settlement ofpublic information lawsuit in the Information Commission, b) what obstacles andsolutions of the execution implementation of the Information Commissiondecisions which have been legally binding. Answering the problem, research with juridical normative approach methodwith analytical descriptive research specification was conducted. The type of dataused in this study is secondary data. Based on the research that had been conducted, it was found that PublicInformation Lawsuit Settlement Procedure, the execution of the decision or theexecution of the Information Commission decision which had been legallybinding was conducted by the competent Court, in the context that the publicinformation lawsuit settlement was the court within the jurisdiction of the pleated.In this case if the pleated is State or Government public entity then the court inquestion is the Administrative Court of the State, whereas if the execution pleated is a party outside the State or Government public entity then the competent court is the competent District Court. The execution authority of the Information Commission decision granted tothe State Administrative Court as well as the District Court, causes theinformation users to experience the long process of obtaining information whichis their needs or constitutional rights.
KEDUDUKAN HUKUM APARATUR PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH DALAM PENGAWASAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Muhammad Nur Aflah; Muhammad Junaidi; Zaenal Arifin; Kadi Sukarna
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 4, No 2 (2021): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i2.4279

Abstract

Artikel ini bertujuan mengkaji dan menganalisa kedudukan Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) serta kendala dan solusi atas kedudukan APIP dalam pengawasan pengadaan barang/jasa berdasarkan Perpres 16 Tahun 2018. Pada tahun 2018, telah disahkan Perpres 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Diantara yang diatur adalah penanganan pengaduan masyarakat dalam pengawasan pengadaan barang/jasa pemerintah yang seolah-olah mendegradasi kewenangan Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Urgensi penelitian ini ialah diharapkan dapat menegaskan perbedaan antara indikasi tindak pidana dengan kesalahan administrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan jenis deskriptif analitis. Kewenangan APIP didefinisikan sebagai menerima pengaduan, menindaklanjuti, dan melaporkan. Kendala dan solusi dibagi menjadi 3 subsistem. Pada legal substance belum adanya pengaturan yang merumuskan peran APIP dan adanya pengaturan yang tidak memberi ruang kepada APH dalam pengawasan pengadaan. Solusinya perlu revisi Perpres yang mengatur peran APIP serta menghilangkan aturan yang membatasi ruang APH dalam pengawasan. Dari sisi legal structure, 2 kendala berupa struktur organisasi dan sistem kerja. Solusinya, perlu adanya komite audit yang independen serta sistem pengembangan karier dengan motivasi mutasi. Terakhir dari sisi legal culture, kedudukan APIP menyisakan problematika paradigma kerja individu dan organisasi yang terkesan reaktif. Solusinya APIP perlu merevitalisasi pola pikir serta membutuhkan mitra kerja yang mampu merumuskan tindakan preemtif dan preventif.
KEWENANGAN POLRI DALAM MENEGAKKAN KODE ETIK ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOBA Doddy Kristian; Bambang Sadono; Kadi Sukarna; Diah Sulistyani Ratna Sedati
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 4, No 2 (2021): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i2.3332

Abstract

 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kewenangan Polri dalam menegakkan Kode Etik  Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba suatu kajian Peraturan Kapolri  No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian dan bagaimana reposisi kewenangan Polri dalam menegakkan kode etik anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba suatu kajian Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah  Kode Etik Kepolisian sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 sudah berfungsi terhadap anggota kepolisian selaku aparat penegak hukum. Sehingga dengan berfungsinya kode etik kepolisian tersebut maka bisa menekan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik kepolisian yang berkaitan dengan etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan dan etika kepribadian.dan setiap anggota kepolisian tersebut harus tunduk. Kewenangan Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam menegakkan Kode Etik Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba melalui sidang kode etik dan apabila terbukti dilakukan peradilan umum serta pemecatan dari dinas kepolisian apabila terbukti melakukan tindak pidana Narkoba. Reposisi terhadap penegakan hukum terhadap anggota Kepolisian yang melanggar kode etik dengan melakukan tindak pidana Narkoba, Kepolisian  Daerah Jawa Tengah mengacu pada Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Peraturan disiplin anggota Polri diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003, Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Apabila di sidang kode etik terbukti bersalah maka dilakukan peradilan umum dengan mengacu pada undang-undang narkotika No. 35 Tahun 2009  dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penyidikan terhadap tindak pidana.
PROBLEMATIKA EKSEKUSI HARTA PAILIT DALAM CROSS BORDER INSOLVENCY Lia Nopiharni Puspitasari; Dian Septiandani; Diah Sulistyani Ratna Sediati; Kadi Sukarna
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 4, No 2 (2021): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i2.4238

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek eksekusi harta pailit yang di dalam pelaksanaannya terdapat problematika dan juga mekanisme pemberesan harta pailit dalam cross border insolvency. Terkait dengan adanya kepailitan lintas batas negara, Indonesia belum mengatur mengenai peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga muncul sebuah problematika dalam eksekusi kepailitan lintas batas negara. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode pendekatan yuridis normatif. Cross border insolvency dapat terjadi apabila aset atau utang seorang debitur terletak di lebih dari satu negara atau apabila debitur termasuk ke dalam yurisdiksi pengadilan pada dua atau lebih negara. Dalam kaitannya dengan kasus kepailitan yang bersifat lintas batas, sering terjadi suatu keadaan dimana terdapat debitor yang akan digugat pailit berkedudukan di suatu negara, tetapi ia juga melakukan kegiatan usaha dan memiliki aset di luar negeri. Begitupun sebaliknya, debitor asing yang akan digugat pailit, tetapi ia memiliki kegiatan usaha ataupun aset di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan keadaan harta debitur yang melintasi batas negara sering menimbulkan permasalahan mengenai batasan harta debitur yang termasuk ke dalam boedel pailit.