Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Kerjasama Antara Kelembagaan Bawaslu dan KPU dalam Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 di Tinjau dari Hukum Tata Negara di Indonesia Boediningsih, Widyawati; Budi Cahyono, Suparman
Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian Vol. 1 No. 7 (2022): Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/locus.v1i4.48

Abstract

Pendahuluan: Demokrasi menjadi parameter utama dari negara-negara modern. Prasyarat negara demokrasi modern adalah penyelenggaraan Pemilu. Tujuan: Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Sistem demokrasi perwakilan bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Dalam kontestasi pemilu di indonesia pemerintah tentunya telah menetapkan lembaga – lembaga sebagai pelaksana penyelengara, pengawas penyelengara dan pemeriksa penyelenggara yang memiliki tugas dan kewenangan masing - masing. Indonesia akan menyelenggarakan pemilu serentak tahun 2024 sesuai dengan ketentuan Pasal 22 E Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali dan berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Metode: Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, dengan penelitian hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Dan penelitiannya mengunakan deskriptif analitis yang menggambarkan atau mendeskripsikan ditinjau dari Hukum Tata Negara di Indonesia yang berkaitan dengan Kerjasama Bawaslu dan KPU dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2024. Kesimpulan: Indonesia akan menyelenggarakan pemilu serentak tahun 2024 sesuai dengan ketentuan Pasal 22 E Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlan-daskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali dan berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Kepastian Hukum Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Terhadap Perlakuan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atastanah dan Bangunan Tanudjaja, Tanudjaja; Budi Cahyono, Suparman
Jurnal Pendidikan Indonesia Vol. 6 No. 2 (2025): Jurnal Pendidikan Indonesia
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/japendi.v6i2.7396

Abstract

Masalah pertanahan memerlukan perhatian serius dan kehati-hatian ekstra dari pemerintah, sebab selain sebagai kebutuhan vital bagi masyarakat, tanah juga merupakan sumber daya ekonomi yang sangat berharga.Melalui adanya kepastian hukum, maka setiap pemilik tanah dapatlah yakin bahwa hak-haknya diakui secara resmi oleh negara, artinya bahwa pemilik memiliki bukti yang sah atas kepemilikan tanah yang dapat digunakan untuk melindungi haknya dari klaim pihak lain sehingga tidak perlu terjadi sengketa tanah.Program Pendaftaran Tanah Lengkap Sistematis (PTSL) dirancang Pemerintah untuk mendaftarkan tanah yang belum terdaftar, sehingga masyarakat dapat memperoleh sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah. PTSL merupakan inisiatif penting dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah pendaftaran tanah dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Melalui pelaksanaan pendaftaran secara sistematis dan terencana, maka program ini diharapkan dapat mengurangi sengketa tanah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengakuan hak tanah yang jelas dan sah.Terhadap sertifikat tanah hasil PTSL dengan status BPHTB dan PPH terhutang tidak memiliki kepastian hukum karena masih terdapat pajak terutang.Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa tentang ratio legis pengaturan kewajiban pembayaran pungutan BPHTB/PPH dan akibat hukum penerbitan sertipikat hak atas tanah dalam hal pelanggaran pembayaran perolehan hak atas tanah.Penelitian ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan hukum statue approach (pendekatan perundang-undangan karena berfokus pada analisis dan penelaahan peraturan perundang-undangan yang relevan) dan dispesifikasikan sebagai penelitian kualitatif dengan jenis yuridis normatif serta Sumber bahan hukum yang digunakan dari sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunde. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa rasio legis dalam pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 telah dirancang secara komprehensif dan konsisten dengan berbagai tujuan pendaftaran tanah.Keberadaan juridical cadastre, fiscal cadastre, land use cadastre, serta multipurpose cadastre. Berdasarkan Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 Pasal 30, tidak semua bidang tanah dapat dibukukan PTSL, terutama yang masuk dalam Kluster 3 tersebut. Sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam legalisasi kepemilikan tanah serta berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan. Tanah yang tidak dapat dibukukan dalam PTSL juga berisiko mengalami kendala dalam transaksi jual beli, pengembangan usaha, maupun pemanfaatan untuk keperluan investasi.Sertifikat hak atas tanah seharusnya memiliki fungsi sebagai alat pembuktian yang pasti dalam hukum pertanahan. Namun, sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2023 Pasal 59 Ayat 10 dan Pasal 60 Ayat 1a, pembayaran BPHTB terutang harus dilunasi sebelum penandatanganan akta jual beli. Wajib Pajak juga harus menyerahkan bukti pembayaran BPHTB sebelum menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan. pada Pasal 61 Ayat 1 disebutkan bahwa Kepala Kantor Bidang Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atau peralihan hak atas tanah setelah bukti pembayaran BPHTB diserahkan. Oleh karena itu, ketentuan dalam Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 yang memperbolehkan penerbitan sertifikat tanpa pelunasan pajak dapat mengurangi kepastian hukum. berdasarkan akibat hukum yang terjadi karena adanya kontadiksi dan ambiguitas tentang BPHTB terutang pada PTSL antara Permen ATR/BPN Nomer 6 Tahun 2018 dan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2018, maka diperlukan kejelasan regulasi yang lebih tegas untuk menghindari ketidakpastian hukum, ketidakadilan, serta risiko terhadap kekuatan hukum sertifikat tanah. Harmonisasi peraturan antara kebijakan fiskal dan kebijakan pertanahan menjadi krusial agar tujuan percepatan PTSL tetap selaras dengan prinsip keadilan serta kepastian hukum dalam perpajakan