Rahayu Fery Anitasari
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

REDESAIN LEMBAGA PENGAWASMAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA PENGUATANLEMBAGA PENEGAK KONSTITUSI Rizqan, Rizqan; Halim Rahmansah; Krisna Eka Prasetya; Galang Fadilah; Rahayu Fery Anitasari
Law Research Review Quarterly Vol. 10 No. 4 (2024): Contemporary Issues in Crime and Justice
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/llrq.v10i4.13596

Abstract

Reformasi melahirkan amandemen konstitusi, hal tersebut menjadi tonggak lahirnya berbagai dinamika ketatanegaraan yang dianggap lebih baik dari konstitusi sebelumnya. Pasca reformasi lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada pokoknya sejalan dengan karakteristik negara hukum menurut Internasional Comission of Jurists (ICJ), salah satunya adanya lembaga kehakiman yang independen dan tidak memihak. Menariknya MK tidak memiliki pengawas diluar tubuhnya sendiri, sehingga menarik untuk mengkaji bagaimana mekanisme pengawasan yang ideal terhadap MK. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normative dengan analisis data menggunakan metode kualitatif. Sehingga hasil kajian akan memfokuskan pada Pola berjalannya MK: antara tugas institutional vs independensi personality Hakim MK.; Dinamika Lembaga pengawas MK; Problem Pengawasan MK saat ini; dan Aspeek etik sebagai guiden dalam tubuh MK. Simpulan penelitian menunjukan bahwa tidak diperlukan pengawasan eksternal diluar MK, karena jika terbentuk lembaga pengawas, maka akan lebih mudah diintervensi oleh Lembaga lain karena ada konflik kepentingan yang sangat kuat. Pengawasan terhadap MK dapat berjalan ketika terjadi suatu indikasi pelanggaran yang harus segera ditindaklanjuti oleh Dewan Etik. Sehingga mekanisme penyelesaian dengan pembentukan MKMK secara ad hoc akan lebih efektif dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran terhadap Hakim MK. MKMK yang bersifat ad hoc akan didudukan sebagai Lembaga pengawas yang akan meminimalisir konflik kepentingan.
Utilitarian Justice in the Decision of the Land Exchange Agreement: A Case Study of Decision Number 241/Pdt.G/2016/Pn.Smn Reviewed from the Post-Positivism Paradigm Muhammad Syahri Ramadhan; Yuli Prasetyo Adhi; Rahayu Fery Anitasari
The Indonesian Journal of International Clinical Legal Education Vol. 7 No. 3 (2025): September (Article in Press)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/iccle.v7i3.38180

Abstract

The Sleman District Court Decision Number 241/Pdt.G/2016/PN.Smn, which recognizes the validity of non-formal land exchange agreements, constitutes a significant case for understanding the realization of substantive justice beyond a positivistic legal framework. This study analyzes the decision using Jeremy Bentham’s utilitarianism approach within the post-positivist paradigm developed by Guba and Lincoln. Employing a normative legal research method with a case-based analytical approach, this research demonstrates that the judges did not merely assess the formal legality of the agreement but also took into account social consequences, practical benefits, and empirical realities existing within the community. Utilitarianism is applied to evaluate the extent to which the decision maximizes overall happiness and minimizes suffering for the disputing parties as well as society at large. Furthermore, post-positivism provides an epistemological framework that conceptualizes law as a contextual, non-final, and socially constructed phenomenon open to reinterpretation. The findings suggest that this combined approach yields a more responsive, flexible, and socially meaningful form of justice, while also generating significant methodological implications for research on non-formal agreements, particularly through the use of qualitative methods, data triangulation, and hermeneutical interpretation.