Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS ASIMILASI PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERBUKA (Studi di Lapas Terbuka Kelas IIB Mataram) Kusuma, Jauhari Dwi
Jurnal Muhakkamah Vol 4 No 2 (2019): Jurnal Muhakkamah
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

One of the places inmates undergo assimilation is by being placed in the open prison. Placement of Prisoners in Open Prison must meet certain requirements other than those generally regulated in Government Regulation Number 32 of 1999 Concerning the Terms and Procedures for the Implementation of Prisoners' Rights as last amended by Government Regulation Number 99 of 2012 there are also special arrangements in Circular Director General of Corrections Number E.PK.04.10-115 and Number PAS-PK.01.01.02-100 regarding the placement of prisoners to the Open Penitentiary Institution / Agricultural Camp. From the results of the analysis of these laws and regulations the obstacles to the placement of Prisoners in Open Prison are as follows: 1) The assimilation requirements in the form of Community Research (LITMAS) are a long process due to the limitations of the Community Guidance Officer, 2) Procedurally the process is long; 3) The location of the Lapas Lapas is far from the prisoner's house; 4) Appropriate assessment process according to criteria is very difficult. For the implementation of Assimilation in the Mataram Open Prison, in practice it is in accordance with the Decree of the Minister of Justice of the Republic of Indonesia NO.M.02-PK.04.10 of 1990 concerning the Pattern of Prisoners / Detainees in the form of 2 fields, namely the Development of Personality and Independence.
Penegakan Terhadap Sanksi Etik Bagi Anggota Kepolisian Yang Melakukan Desersi Di Provinsi Nusa Tenggara Barat Jauhari Dwi Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 4 No 2 (2021): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desersi merupakan salah satu jenis pelanggaran kode etik profesi yang sering terjadi didunia kepolisan atau militer yang memiliki sanksi beragam sesuai tingkat pelanggarannya. Dilingkungan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat terdapat beberapa kasus desersi yang kemudian membuat penulis tertarik untuk mengetahui pengaturan mengenai kode etik profesi di lingkungan kepolisian Republik Indonesia dan untuk mengetahui penegakan dan sanksi etik terhadap anggota kepolisian Republik Indonesia yang melakukan desersi khususnya dilingkungan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris (applied law research) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (the casse approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kode etik profesi di lingkungan kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, kode etik kepolisian diatur dalam Perkap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik polri. Kepolisian Nusa Tenggara Barat telah melakukan penegakan dan sanksi etik terhadap anggota Kepolisian dilingkungan kepolisian Nusa Tenggara Barat terbukti dengan adanya sidang Kode Etik dilaukan terhadap 36 pelanggar sepanjang tahun 2020, 17 diantaranya mendapat hukuman demosi, 19 mendapat hukuman pemberhentian tidak dengan hormat. Terhadap sidang kode etik tersebut, 19 orang pelanggar masih mengajukan banding.
Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengguna Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 405/Pid. Sus/2013/PN.Mtr) Jauhari Dwi Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 3 No 2 (2020): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penegakan hukum terhadap tindak pidana Narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran Narkotika. Ini terlihat dari penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana Dengan Pemufakatan Jahat Tanpa Hak Memiliki, Menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman, dalam perkara Putusan Nomor 405/Pid.Sus/2013/PN.Mtr. Telah sesuai dan tepat dengan ancaman pidana sesuai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jaksa Penuntut Umum menggunakan 2 (dua) dakwaan, yaitu Primair pasal 112 Ayat (1) Jo. Pasal 132 Ayat (1) UU Narkotika, dan Subsidiair Pasal 127 Ayat (1) UU Narkotika. Sedangkan Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku dalam perkara tersebut berdasarkan pertimbangan yuridis dan sosiologis. Berdasarkan pertimbangan yuridis hakim akan menarik fakta-fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti, fakta yang dihadirkan berorientasi dari lokasi, waktu kejadian dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana dilakukan, dan juga melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan. Berdasarkan pertimbangan sosiologis kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakkan sebagimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya, nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.
Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Menurut Kuhperdata Muhammad Ikhsan Kamil; Jauhari D. Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 4 No 1 (2021): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang mencantumkan klausula eksonerasi. Karena praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi yang berisi pengalihan tanggungjawab, pembebanan tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab kreditur pada debitur. Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normative, yang menggunakan pendekatan perundang - undangan dan pendekatan konsep. Berdasarkan kajian, penulis menyimpulkan bahwa adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku jika dilihat dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan yang disebabkan karena adanya cacat kehendak yaitu penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak yang menentukan isi perjanjian.
Penegakan Hukum Tindak Pidana Cyber Bullying Oleh Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jauhari Dewi Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 1 No 1 (2018): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.004 KB)

Abstract

Dalam penanganan cyber bullying, aparat penegak hukum menggunakancomputer forensics dalam penyelidikan yang dilakukannya. Adapun computerforensics adalah salah satu cabang ilmu forensic yang berkaitan dengan buktibuktilegal tentang sebuah aksi kejahatan atau pelanggaran yang ditemui padacomputer dan media-media penyimpanan digital. Penegakan hukum terhadapseseorang yang melakukan cyber bullying tentunya harus dijalankan untukmemberikan pelajaran dan efek jera terhadap seseorang untuk lebih bijakdalam menggunakan media sosial. Namun terhadap pelaku anak tentunyaharus mempergunakan sistem peradilan anak dalam penangannya, di mana haltersebut telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yaitu: “Sistem Peradilan Pidana Anakadalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapandengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahappembimbingan setelah menjalani pidana”. Berdasarkan hal tersebut dia atas,maka yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah mengenai penegakanhukum tindak pidana cyber bullying yang dilakukan oleh anak berdasarkanUU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sertabagaimana upaya preventif yang dilakukan guna mencegah cyber bullyingtersebut. Penegakan hukum tindak pidana cyber bullying yang dilakukan olehanak harus didasarkan pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun2012 tentang Sistem Peradilan anak.
Penegakan Hukum Tindak Pidana Mengakses Komputer Dan Atau Sistem Elektronik Milik Orang Lain Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Di Pengadilan Negeri Mataram) Jauhari Dwi Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 1 No 2 (2018): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.647 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik orang lain yang dilakukan oleh Warga Negara Asing. Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Mataram. Metode penelitian yang digunakan adalah studi lapangan (field research) melalui wawancara langsung kepada narasumber yang berkaitan dengan tulisan ini, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data dari berbagi literatur yang ada, berupa buku, artikel-artikel yang diperoleh dari penelusuran internet, termasuk aturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil yang penulis peroleh dari penelitian ini, yaitu Penegakan hukum dalam upaya penanggulangan cyber crime (tindak pidana mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik orang lain yang dilakukan oleh Warga Negara Asing) belum efektif disebabkan karena beberapa hal, diantaranya ialah laju pertumbuhan cyber crime yang begitu pesat dan upaya penanggulangan yang masih kurang maksimal mengingat masih banyaknya kasus cyber crime yang ditangani oleh aparat kepolisian. Kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam upaya penanggulangan cyber crime dapat dibagi ke dalam 4 (empat) aspek, yaitu: aspek penyidik (Tingkat kemampuan dan skill penyidik), alat bukti (data yang rentan untuk diubah dan dihapus), fasilitas (laboratorium forensic computer) dan jurisdiksi .
Analisis Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 22/PEN.DIV/ 2017/ PN MTR Terkait Dengan Pengambilan Keputusan Terhadap Pidana Anak Jauhari Dwi Kusuma
Unizar Law Review (ULR) Vol 2 No 1 (2019): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.104 KB)

Abstract

Dalam perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum masih banyak terkendala dalam proses pengakan hukum baik dalam proses penyidikan hingga tahap putusan. Dalam analisis keputusan hakim terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam penetapan Ketua Pengadilan Negeri Mataram Nomor 22/Pen.Div/2017 PN Mtr. Penyelesaian perkara anak yang belum berumur 12 tahun hakim harus mempertimbangkan keadilan restoratif untuk melindungi kepentingan anak. Dalam hasil analisis penulis terdapat pertentangan norma anatara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang fokusnya terhadap perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 yang fokusnya pada perlindungan anak korban. Sehingga Hakim dalam amar pertimbangan dalam pengambilan keputusan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atas permintaan Penyidik dan pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis sebagaimana diamanatkan dalam PP No 65 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 Tahun.
TANGGUNG JAWAB KEPOLISIAN DALAM PENGAMANAN BENDA SITAAN SEBAGAI BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTA MATARAM) B.Farhana Kurnia Lestari; Jauhari Dewi Kusuma; Gatot Pramedi
Jurnal Ilmiah Hospitality Vol 11 No 2: Desember 2022 (in Press)
Publisher : Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47492/jih.v11i2.2340

Abstract

The confiscation of evidence or confiscation is carried out by law enforcement officers for the level of examination, especially for investigation purposes in terms of sufficient evidence, and Responsibility as law enforcement officers in securing confiscated objects. Investigators cannot arbitrarily seize goods without following the rules outlined by laws and regulations. They must comply with the provisions of the Criminal Procedure Code because this is closely related to the dignity of a person guaranteed by the State, government, law, and every citizen as values. HAM. The purpose of this research is to find out the form of Responsibility of investigators for the evidence confiscated at the Mataram Police and what obstacles are faced by the police in securing confiscated objects as evidence in the investigation of criminal cases at the Mataram Police. This research is empirical legal research, which is legal research conducted by collecting data from primary data or data obtained directly, either through observation or direct interviews. The type of approach used is the statutory approach, the conceptual analysis approach, and the case approach. Legal materials are processed deductively, drawing conclusions from a general problem to a specific one. The results of the study show Responsibility In handling confiscated objects by investigators, the investigators are fully responsible for the seized evidence and are prohibited from being used by anyone sanctions investigators who misuse evidence can be subject to disciplinary punishment in the form of a written warning; delay in attending education for a maximum of 1 (one) year; postponement of periodic salary increases; maximum promotion delay 1 (one year; emotional mutations; release from office; placement in a special place for a maximum of 21 (twenty-one) days. The investigator is fully responsible for confiscating evidence and prohibited from being used by anyone. The sanction for the investigator who misuses the evidence may be subject to disciplinary punishment in the form of a written warning; delay in attending education for a maximum of 1 (one) year; postponement of periodic salary increases; postponement of promotion for a maximum of 1 (one) year; emotional mutations; release from office; placement in a special place for a maximum of 21 (twenty-one) days. Coordination to determine the proper storage place for confiscated objects. Small-sized items will be stored in the sub locker. Mataram City Police evidence unit. The obstacles faced in the storage of evidence are the absence of adequate unique and permanent facilities in the form of a room or warehouse that can use for storage of evidence at the Mataram City Police, the lack of maximum supervision of the evidence, either from investigators or from other existing personnel. At the Mataram City Police, individuals still use evidence for personal gain.
KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI DALAM PEMBARUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA NASIONAL B. FARHANA KURNIA LESTARI; JAUHARI D. KUSUMA; JURWAEIS MARJA SEKA
GANEC SWARA Vol 18, No 2 (2024): Juni 2024
Publisher : Universitas Mahasaraswati K. Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35327/gara.v18i2.884

Abstract

This study aims to determine the comparison of death penalty sanctions in the 2023 Criminal Code Update and the old Criminal Code that is still in force today and also to determine the legal certainty of death penalty legal certainty in the National Criminal Code Update. The research method used in this study is a normative legal research method which is legal research conducted using a statutory approach and and analysis of legal concepts by analyzing criminal and penal concepts and applicable laws and regulations in Indonesia related to this research.From the results of the study, that the comparison of death penalty sanctions in the renewal of the old Criminal Code and the new Criminal Code, namely the old Criminal Code, the death penalty is regulated in article 10 which explains that the death penalty is the main crime and is the highest criminal sanction. Meanwhile, in the new Criminal Code, the death penalty is no longer included in the main crime and changes to an alternative crime with the provision of probation for 10 (sepulu) years. If the death row prisoner shows commendable attitudes and actions, the death penalty can be changed to life imprisonment by Presidential Decree after obtaining the consideration of the Supreme Court. Legal certainty The renewal of the death penalty in Indonesian criminal law can be achieved by referring to Indonesian laws and regulations governing the death penalty. In the new Criminal Code, provisions on the death penalty are regulated in article 98, article 99, article 100 paragraph (1), paragraph (2), paragraph (3), paragraph (4), article 101 and article 102. This article regulates the formulation of the death penalty in the Criminal Code Reform which is threatened alternatively as a last resort to prevent the commission of criminal acts and protect the community.