Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERKAWINAN DIBAWAH UMUR Lestari, B. Farhana Kurnia; Megayati, Dhina
Nusantara Hasana Journal Vol. 1 No. 9 (2022): Nusantara Hasana Journal, February 2022
Publisher : Nusantara Hasana Berdikari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Restorative justice is a way of handling child criminal cases outside the formal legal channels to guarantee and respect the dignity of the child, as well as the interests of the child and pay attention to justice for the victim. Restorative justice is a process in which all parties with an interest in a particular violation meet together to resolve jointly for the sake of the future. Restorative justice aims to empower victims, perpetrators, families, and communities to correct an act against the law by using awareness and conviction as a basis for improving community life. The application of Restorative Justice to Children Victims of Underage Marriage Crimes is one of them by implementing the Juvenile Criminal Justice System (SPPA). By focusing on the accountability of perpetrators to victims of criminal acts through a Restorative approach.
Legal Policy Model for Prevention Children Marriage at West Nusa Tenggara Province Sri Karyati; B. Farhana K.Lestari
Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum Vol 13 No 2 (2019)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/fiatjustisia.v13no2.1673

Abstract

Until now the issue of child marriage in NTB has not yet been resolved. The issue of child marriage in NTB has not been completed because the roots of child marriage in NTB have not touched the root of the real problem. Therefore there must be a more comprehensive policy breakthrough to prevent the prevention of child marriage in NTB. There is a need for a legal policy to prevent child marriages in NTB that needs scientific studies as the basis for scientific legitimacy about the urgency of the existence of regional regulations to prevent child marriage. There are two problems in this research, first, What is the juridical problem in the policy of preventing the occurrence of child marriage in NTB? Second, what is the right and applicable policy model in preventing the occurrence of child marriage in NTB? This research is normative legal research with a focus on evaluating the policy of preventing child marriage that has been taken by the NTB provincial government. The research approach used is a normative approach and an empirical approach.The results showed that the first, juridical barriers to preventing child marriage in NTB not only had juridical obstacles in terms of the validity of the provisions of article 7 paragraph (1) of the marriage law that regulates the minimum age of marriage is 16 years for women, but also still has obstacles juridical relating to the legal policy on the regulation of child marriages in the content of regional regulations because the local regulation must not conflict with article 7 paragraph (1) of the marriage law which is still valid and other constraints are not operational and the effective decision of the constitutional court No. 22 / PUU / XV / 2017 concerning judicial review of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage because this decision only delayed the implementation of the Constitutional Court's decision in 2021 and was very dependent on legislative policy from the DPR and the President to amend Law No. 1 of 1974 concerning Marriage according to the order of the Constitutional Court's decision. Second, the appropriate and applicable policy model in preventing the occurrence of child marriages in NTB is done using the transitional policy model and post-transition policy. The transition policy is carried out by making regulations that regulate the prevention of child marriages by using the child protection paradigm, while post-transition policies are carried out using the family quality policy paradigm with a focus on increasing the age of marriage. legislation. First, the Republic of Indonesia Parliament, especially the Republic of Indonesia Parliament for the period 2019-2024 and the President should immediately follow up on Decision No. 22 / PUU / XV / 2017 by taking legislative policies by entering the amendment bill to Law No. 1 of 1974 concerning Marriage into a national legislation program which is subsequently compiled, discussed and stipulated as law. Second, to respond to the dynamic dynamics of marital law and child protection, the NTB Governor and the NTB DPRD should immediately take legislation in the regions by including the draft regulation on the prevention of child marriages in the 2019 local regulation formation program and then compile and discuss it into regional regulations.
Peran Ilmu Forensik Dalam Memecahkan Kasus Kriminalitas: Studi Di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram B. Farhana Kurnia Lestari; Lalu Arfi Kusnaraharja
Unizar Law Review (ULR) Vol 4 No 1 (2021): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peranan ilmu forensik dalam memecahkan kasus – kasus kriminalitas serta kendala –kendala yang ditemui forensik rumah sakit bhayangkara mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris suatu bentuk penelitian lapangan untuk mencari keterangan berupa data atau informasi tentang masalah yang diteliti dengan menggunakan metode pendekatan normatif. Jenis pendekatan yang digunakan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Berdasarkan hasil penelitian ilmu forensik memiliki peranan yang sangat penting dalam mengungkap sebuah tindak kejahatan yang terjadi terutama terhadap kasus-kasus yang sulit dipecahkan atau membutuhkan teknik khusus dalam pengungkapannya. Terdapat kendala eksternal yang berasal dari masyarakat dan keluarga korban kurangnya partisipasi masyarakat dalam membantu penyidik dalam memberikan keterangan yang akurat dengan apa yang dilihat, dengar, karena faktor ketakutan ataupun tidak mau berurusan dengan kepolisian serta kendala internal yaitu karena faktor sumber daya manusia yang kurang, serta didukung sarana prasarana yang belum memadai dan minimnya dana pemeriksaan.
Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Kelalaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Orang Lain (Studi Di Polres Lombok Timur) Baiq Farhana Kurnia Lestari; Sumarni Sumarni; Ade Aprian Haswari
Unizar Law Review (ULR) Vol 3 No 2 (2020): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pertanggungjawaban pidana dapat dilihat juga dari bentuk kesengajaan dan kealpaan (culpa) yaitu kealpaan disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelalaian pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pengemudi kendaraan bermotor yang menyebabkan orang lain meninggal dunia. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lombok Timur karena merupakan kabupaten dengan penduduk terpadat dan jumlah kecelakaan tertinggi di Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan empiris yaitu suatu bentuk penelitian lapangan untuk mencari keterangan berupa data atau informasi yang akan dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan normative. Data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa faktor penyebab kecelakaan yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur adalah Faktor Manusia, Faktor Kendaraan, Faktor Jalan, dan Faktor Lingkungan. Tanggung jawab pelaku kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan meninggalnya orang lain di wilayah hukum Polres Lombok Timur adalah dalam bentuk pidana kurungan penjara maupun denda sesuai dengan pasal 310 ayat (4) dan pasal 311 ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tinjauan Kriminologi Terhadap Praktek Prostitusi Di Kota Mataram Baiq Farhana Kurnia Lestari
Unizar Law Review (ULR) Vol 2 No 2 (2019): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.596 KB)

Abstract

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya praktik prostitusi serta upaya penanggulangan praktik prostitusi dikota mataram. Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data hukum primer dan data hukum sekunder. Pendekatan yang digunakan melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Hasil dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang perempuan melakukan praktek prostitusi dikota mataram disebabkan karena faktor kemiskinan, karena faktor ekonomi, karena tekanan ekonomi adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi salah satu alasan penyebab seseorang perempuan dikota mataram melakukan praktek prostitusi, tingkat pendidikan yang rendah, lingkungan sosial yang tidak sehat bagi perempuan, anak -anak, keluarga dan masyarakat mendorong berkembangnya praktik prostitusi, perilaku konsumtif, kendornya ketahanan keluarga, serta sikap hedonisme menjadi pendorong seorang melakukan praktek prostitusi. Upaya penanggulangan praktik prostitusi dilakukan melalui upaya preventif dan upaya represif.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak B. Farhana Kurnia Lestari
Unizar Law Review (ULR) Vol 1 No 1 (2018): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.41 KB)

Abstract

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akanmenggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengandemikian, anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalamhidupnya kelak. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun nonpemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatianterhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.Pada hakekatnya anak tidakdapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang dapatmenimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam berbagai bidang kehidupandan penghidupan.Anak harus dibantu mengingat situasi dan kondisinya. Anakperlu mendapat perlindungan agar tidak mengalami kerugian, baik mental,fisik, maupun sosial. Secara logika perbuatan perdagangan terhadap anakmerupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Anak yang dapatdikategorikan dalam kejahatan kemanusiaaan, karena anak tidak lagidipandang sebagai subyek yaitu sebagai manusia, melainkan sebagai obyekkomoditas atau obyek eksploitasi dengan tujuan untuk mencapai keuntungan.Upaya perlindungan hukum terhadap anak dalam tindak pidana perdaganganorang, salah satunya dilakukan dengan cara penegakan hukum danpencegahan serta pemberantasan perdagangan orang yang dilakukan secaraberkesinambungan agar tetap terpeliharanya sumber daya manusia yangberkualitas.
Kebijakan Pencegahan Pernikahan Anak Di Provinsi NTB Pasca Berlakunya UU No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Sri Karyati; Baiq Farhana Kurnia Lestari; Arya Sosman
Unizar Law Review (ULR) Vol 2 No 2 (2019): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.68 KB)

Abstract

Berlakunya UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khusus tentang persoalan usia minimal pernikahan. Namun hal ini tidak serta merta menuntaskan persoalan pernikahan anak di NTB. Belum tuntasnya persoalan pernikahan anak di NTB karena akar persolan pernikahan anak di NTB belum menyentuh akar persoalan sebenarnya. Oleh Karena itu harus ada terobosan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mencegah terjadinya pencegahan pernikahan anak di NTB. Perlu kebijakan hukum pencegahan pernikahan anak di NTB yakni penetapan perda pencegahan pernikahan anak. Permasalahan yang hendak di kaji dalam tulisan ini yakni bagaimana kebijakan pencegahan pernikahan anak di provinsi NTB pasca berlakunya UU No.16 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normative dan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yakni pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pencegahan pernikahan anak. Kebijakan pencegahan pernikahan anak di Provinsi NTB telah merespon perubahan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan ditetapkannya Raperda tentang pencegahan pernikahan anak di propemraperda 2020. Hadirnya Raperda tentang pencegahan perniakahan anak diharapkan terjadi perubahan paradigma pencegahan perkawinan anak dari pendekatan perlindungan bertambah dengan paradigma pencegahan pernikahan dengan menggunakan paradigma pembentukan keluarga yang berkualitas.
Analisis Sanksi Pidana Menyiarkan Ujaran Kebencian di Media Sosial menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik B. Farhana Kurnia Lestari; Baihaqi Syakbani; Muhammad Ari Arahman
Unizar Law Review (ULR) Vol 3 No 1 (2020): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.478 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana kriteria menyiarkan ujaran kebencian di media sosial yang dikenakan sanksi pidana dan untuk mengetahui sanksi pidana menyiarkan ujaran kebencian di media sosial menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, metode pendekatan konseptual dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini diantaranya kriteria ujaran kebencian di media sosial yang dikenakan sanksi pidana adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong, baik semua perbuatan ini dilakukan di muka umum atau di media sosial, sepanjang memenuhi unsur-unsur perbuatan ujaran kebencian. Bahwa aturan yang mengatur mengenai larangan ujaran kebencian telah diatur didalam Pasal 154, 155, 156, 156 a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksi pidana menyiarkan kebencian di media sosial didasarkan pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terkait dengan Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada umumnya jenis sanksi yang dijatuhkan Pidana penjara maksimal dan atau paling lama 6 tahun penjara dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.
TANGGUNG JAWAB KEPOLISIAN DALAM PENGAMANAN BENDA SITAAN SEBAGAI BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTA MATARAM) B.Farhana Kurnia Lestari; Jauhari Dewi Kusuma; Gatot Pramedi
Jurnal Ilmiah Hospitality Vol 11 No 2: Desember 2022 (in Press)
Publisher : Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47492/jih.v11i2.2340

Abstract

The confiscation of evidence or confiscation is carried out by law enforcement officers for the level of examination, especially for investigation purposes in terms of sufficient evidence, and Responsibility as law enforcement officers in securing confiscated objects. Investigators cannot arbitrarily seize goods without following the rules outlined by laws and regulations. They must comply with the provisions of the Criminal Procedure Code because this is closely related to the dignity of a person guaranteed by the State, government, law, and every citizen as values. HAM. The purpose of this research is to find out the form of Responsibility of investigators for the evidence confiscated at the Mataram Police and what obstacles are faced by the police in securing confiscated objects as evidence in the investigation of criminal cases at the Mataram Police. This research is empirical legal research, which is legal research conducted by collecting data from primary data or data obtained directly, either through observation or direct interviews. The type of approach used is the statutory approach, the conceptual analysis approach, and the case approach. Legal materials are processed deductively, drawing conclusions from a general problem to a specific one. The results of the study show Responsibility In handling confiscated objects by investigators, the investigators are fully responsible for the seized evidence and are prohibited from being used by anyone sanctions investigators who misuse evidence can be subject to disciplinary punishment in the form of a written warning; delay in attending education for a maximum of 1 (one) year; postponement of periodic salary increases; maximum promotion delay 1 (one year; emotional mutations; release from office; placement in a special place for a maximum of 21 (twenty-one) days. The investigator is fully responsible for confiscating evidence and prohibited from being used by anyone. The sanction for the investigator who misuses the evidence may be subject to disciplinary punishment in the form of a written warning; delay in attending education for a maximum of 1 (one) year; postponement of periodic salary increases; postponement of promotion for a maximum of 1 (one) year; emotional mutations; release from office; placement in a special place for a maximum of 21 (twenty-one) days. Coordination to determine the proper storage place for confiscated objects. Small-sized items will be stored in the sub locker. Mataram City Police evidence unit. The obstacles faced in the storage of evidence are the absence of adequate unique and permanent facilities in the form of a room or warehouse that can use for storage of evidence at the Mataram City Police, the lack of maximum supervision of the evidence, either from investigators or from other existing personnel. At the Mataram City Police, individuals still use evidence for personal gain.
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PELAKU PENANGKAPAN PENYU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA (STUDI KASUS DI DIREKTORAT KEPOLISIAN PERAIRAN DAN UDARA POLDA NTB) B. FARHANA KURNIA LESTARI; PUTU HENDRA KARDILA
GANEC SWARA Vol 17, No 2 (2023): Juni 2023
Publisher : Universitas Mahasaraswati K. Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35327/gara.v17i2.448

Abstract

The purpose of this study is to 1) describe the legal arrangements related to the crime of turtle catching perpetrators. 2) describe the countermeasures carried out by the Ditpolairud Polda NTB in dealing with the perpetrators of the crime of catching turtles. The benefit of this research is to provide insight into ideas for the development of legal science, especially regarding legal arrangements related to the criminal act of catching turtles. The data were obtained from the results of library and field research, and were processed and analyzed using qualitative methods. This research is based on library materials from the results of interviews with informants, namely the Office of Ditpolairud Polda NTB. Based on the results of research related to the legal arrangements for the criminal act of catching turtles, it is clearly regulated in the Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 1990 wherein the Law has been regulated in Article 40 Paragraph (2), violators of this Law are threatened with a maximum prison sentence 5 years and a maximum fine of IDR 100,000,000. In the countermeasures carried out by the Ditpolairud Polda NTB in dealing with the perpetrators of the crime of catching turtles, this was carried out in 3 ways, namely Preemptive, Preventive and Repressive. The implications of this research are, 1) It is expected that law enforcement officers will be more active in providing counseling and coaching to coastal communities. 2) It is expected that law enforcement officials will routinely carry out patrols in areas prone to the crime of catching turtles 3) It is expected that law enforcement officials will take firm action by giving appropriate punishments so as to provide a deterrent effect to the perpetrators of the crime of catching turtles in accordance with applicable laws and regulations