Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TANTANGAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI CRYPTOCURRENCY DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA Musfiratul Ilmi; Putri Mei Lestari Lubis
El-Iqthisadi Vol 7 No 1 (2025): Juni
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i1.57409

Abstract

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang melalui cryptocurrency. Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, penggunaan uang virtual, terutama cryptocurrency, menghadirkan tantangan baru bagi aparat penegak hukum. Karakteristik cryptocurrency seperti transaksi cepat, biaya rendah, dan pseudonimitas memungkinkan pelaku kejahatan menyembunyikan identitas dan melancarkan transaksi ilegal yang sulit dilacak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute aprroach) dan pendekatan konseptual (conceptual aprroach). Pembahasan mencakup prinsip pembuktian dan karakteristik cryptocurrency yang menyulitkan pelacakan yang dijawab melalui terobosan pemerintah dengan adanya prinsip Know Your Customer (KYC) dan Customer Due Diligence (CDD)/Enhanced Due Diligence (EDD) yang diatur oleh Bappebti untuk mitigasi risiko. Kata Kunci: Cryptocurrency; Pseudonimitas; TPPU.   AbstractThis research aims to analyze the challenges in proving money laundering offenses through cryptocurrency. Although Indonesia has a comprehensive legal framework in Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, the use of virtual currency, especially cryptocurrency, presents new challenges for law enforcement officials. Cryptocurrency characteristics like fast transactions, low costs, and pseudonymity allow perpetrators to conceal their identities and carry out illegal transactions that are difficult to trace. This study uses a normative legal research method with a statute approach and a conceptual approach. The discussion covers the principles of proof and the characteristics of cryptocurrency that complicate tracing, addressed by government breakthroughs with the Know Your Customer (KYC) and Customer Due Diligence (CDD)/Enhanced Due Diligence (EDD) principles regulated by Bappebti for risk mitigation. Keywords: Cryptocurrency; Pseudonymity; Money Laundering
PERNYATAAN KONTROVERSIAL PEJABAT PUBLIK DI RUANG DIGITAL : POTENSI PELANGGARAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AAUPB) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Bambang Hermawan; Putri Mei Lestari Lubis
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 7 No 1 (2025): Oktober
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v7i1.61476

Abstract

Abstrak Pernyataan pejabat publik di ruang digital tidak mencerminkan sikap kehati-hatian maupun profesionalitas yang seharusnya melekat pada jabatan yang  diemban. penelitian ini bertujuan untuk membahas fenomena viralnya pernyataan pejabat publik melalui perspektif hukum administrasi negara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang berfokus pada analisis terhadap norma hukum positif dengan pendekatan Statute Approach dan Conceptual Approach.. pengujian terhadap pernyataan pejabat publik harus mempertimbangkan konteks, kapasitas, serta akibat yang ditimbulkan. Oernyataan publik yang viral berpotensi melanggar asas kecermatan, kepastian hukum, dan profesionalitas, sehingga menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Diperlukan peningkatan pemahaman serta sosialisasi kepada pejabat publik mengenai penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Upaya ini penting agar setiap keputusan atau tindakan yang diambil tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memperoleh legitimasi moral di hadapan masyarakat. Kata kunci : Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Pejabat Publik, Viral.   AbstractStatements made by public officials in digital spaces often fail to reflect the prudence and professionalism inherent to their office. This study aims to examine the phenomenon of viral public statements through the lens of administrative law. The research employs a normative legal method, focusing on the analysis of positive legal norms using the Statute Approach and Conceptual Approach. The assessment of public officials’ statements must take into account context, capacity, and the resulting impact. Viral statements by public officials have the potential to violate the principles of accuracy, legal certainty, and professionalism, thereby creating unrest and public disturbance. It is therefore necessary to enhance awareness and disseminate knowledge among public officials regarding the application of the General Principles of Good Governance (AAUPB). Such efforts are crucial to ensure that every decision or action taken is not only legally valid but also enjoys moral legitimacy in the eyes of society. Keywords: General Principles of Good Governance, Public Officials, Viral Stateme.
ANALISIS YURIDIS PRINSIP FREE, PRIOR, INFORMED CONSENT (FPIC) SEBAGAI INSTRUMEN PENCEGAHAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA PERTAMBANGAN DI WILAYAH ADAT Putri Mei Lestari Lubis; Dwiki Putra Perkasa
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.63392

Abstract

Abstract The mining sector in Indonesia holds significant economic potential but often generates social, environmental, and legal issues, particularly for indigenous peoples. Agrarian conflicts and human rights violations frequently arise due to mining permits granted without adequate protection of indigenous peoples’ rights over their customary lands. The principle of Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) serves as a crucial mechanism to ensure that indigenous communities can freely grant or withhold consent—prior to any activity—based on clear and comprehensive information regarding policies or development projects affecting their lands, territories, and natural resources. This study employs a normative juridical method with a doctrinal approach to analyze the position and implementation of FPIC within Indonesia’s national legal framework, especially in relation to mineral and coal mining activities. The findings reveal that national regulations, including Law No. 3 of 2020 and Law No. 11 of 2020, have yet to fully accommodate FPIC, potentially leading to human rights violations and legal conflicts. Strengthening the legal foundation and effective implementation of FPIC are essential to prevent human rights abuses, promote social justice, and safeguard environmental sustainability in indigenous territories. Keywords: Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), Human Rights, Indigenous Peoples, Mining Abstrak Sektor pertambangan di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar, namun sering menimbulkan persoalan sosial, lingkungan, dan hukum, khususnya terhadap masyarakat adat. Konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia kerap muncul akibat pemberian izin pertambangan yang tidak disertai perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) hadir sebagai mekanisme penting untuk memastikan masyarakat adat dapat memberikan persetujuan atau penolakan secara bebas, didahului, dan berdasarkan informasi yang jelas terhadap setiap kebijakan atau proyek pembangunan yang berdampak pada tanah, wilayah, serta sumber daya mereka. Penelitian pada karya ilmiah ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan doktrinal untuk menganalisis posisi dan penerapan FPIC dalam kerangka hukum nasional, khususnya terkait pertambangan mineral dan batubara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi nasional, termasuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, belum sepenuhnya mengakomodir prinsip FPIC, sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan konflik hukum. Penguatan dasar hukum dan implementasi FPIC menjadi urgensi untuk mencegah pelanggaran hak masyarakat adat, menjaga keadilan sosial, serta keberlanjutan lingkungan hidup. Kata Kunci : Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), Hak Asasi Manusia, Masyarakat Adat, Pertambangan