Penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam kasus kejahatan lingkungan di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari kompleksitas pembuktian, keterbatasan instrumen hukum, hingga lemahnya efektivitas sanksi pidana dalam mendorong perubahan perilaku korporasi. Dalam konteks ini, Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau perjanjian penuntutan yang ditangguhkan muncul sebagai salah satu instrumen alternatif yang berpotensi memperkuat penegakan hukum pidana lingkungan. DPA memberikan ruang bagi korporasi untuk melakukan pemulihan, kepatuhan, dan perbaikan sistem tata kelola dengan imbalan penundaan atau penghentian penuntutan apabila kewajiban yang disepakati terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemungkinan penerapan DPA dalam hukum pidana korporasi lingkungan Indonesia sebagai mekanisme penegakan hukum yang adaptif dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan hukum. Penelitian menelaah peraturan perundang-undangan nasional, doktrin hukum pidana korporasi, serta praktik DPA di berbagai yurisdiksi seperti Amerika Serikat dan Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DPA dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menyeimbangkan kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, dan tujuan pemulihan lingkungan. Namun, penerapannya membutuhkan kerangka hukum yang jelas, akuntabel, dan transparan agar tidak disalahgunakan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana. Kesimpulannya, DPA berpotensi menjadi alternatif penegakan hukum pidana korporasi lingkungan yang lebih responsif terhadap prinsip keadilan restoratif dan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.