Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Implementation of Polygamy Law According to the Perspective of Islamic Law and Human Rights: Case Study in Bireuen Regency M Nur, Abdullah; Bardan, Fadhilah; Razali, Ruslan; Abdurrauf, Mursal; Sulaiman, Mursalin
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol. 8 No. 1 (2025): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/bh01st31

Abstract

Polygamy is a practice permitted under Islamic law with certain conditions, but it often reaps controversy in the context of human rights (HAM). This article examines the implementation of polygamy law in Bireuen Regency, Aceh, by examining the applicable sharia regulations and how their implementation is in line with or contrary to human rights principles. This study uses a descriptive qualitative method with a case study approach. Data were obtained through interviews, documentation, and literature studies. The results of the study show that although polygamy is strictly regulated by sharia law and local government regulations, in practice there are still various violations of women's rights, such as lack of consent from the first wife and minimal protection of justice in the household.
Review of Maqāshid al Syarī’ah Regarding Grants Counted as Inheritance in Article 211 of the Compilation of Islamic Law Sulaiman, Mursalin
Al-Fikrah Vol 13 No 2 (2024): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiaf.v13i2.884

Abstract

A gift (hibah) involves the transfer of property to another without compensation during the giver's life, often to prevent disputes after their death. In Islamic law, hibah to non-heirs, like adopted children, can create issues. Article 211 of KHI limits hibah to a maximum of one-third of the benefactor's wealth, safeguarding legitimate heirs' rights. Maqāshid al-syarī’ah views hibah as a means to ensure the welfare of all, including the protection of wealth and lineage. This study examines hibah in Article 211 of KHI and analyzes it through maqāshid al-syarī’ah. Using a qualitative library approach, findings show that hibah given during the benefactor's lifetime may be counted in the inheritance to maintain fairness among heirs. Maqāshid al-syarī’ah stresses justice, family harmony, and collective welfare, aiming to prevent conflict and uphold balanced rights among heirs and the benefactor’s intentions.
Menjual Ginjal Demi Memenuhi Kebutuhan Keluarga: (Studi Komparatif Hukum Positif dan Fiqh Sya ̅fi’iyyah) Sulaiman, Mursalin
Al-Mizan Vol 11 No 2 (2024): Al-Mizan
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v11i2.872

Abstract

Penjualan ginjal demi memenuhi kebutuhan keluarga merupakan topik yang mendalam dalam konteks hukum positif Indonesia dan fiqh sya̅fi’iyyah. Praktik ini menghadirkan kompleksitas hukum dan etika, mengingat larangan keras dalam hukum positif terhadap komersialisasi organ tubuh serta prinsip non-komersial dalam proses transplantasi organ. Dari hal tersebutlah penulis mengangkatnya menjadi sebuah penelitian dengan rumusan masalah yaitu: Bagaimana pandangan hukum positif dan fiqh syi’iyyah terhadap praktek penjualan ginjal dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan apa saja persamaan dan perbedaan antara hukum positif dan fiqh syi’iyyah mengenai penjualan ginjal dalam memenuhi keluarga. Penelitian ini menggunakan metode pustaka dengan menggali teks hukum dan literatur fiqh sya̅fi’iyyah untuk menganalisis perbandingan hukum positif Indonesia dan fiqh sya̅fi’iyyah tentang penjualan ginjal. Hasil penelitian ini adalah: Pandangan hukum positif terhadap praktek penjualan ginjal dalam memenuhi kebutuhan sangat tegas dilarang, hal tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Pelanggaran ini dapat mengakibatkan sanksi pidana berat, dan profesi medis juga dilarang terlibat dalam praktek penjualan organ. Sebagai gantinya, hukum mendukung donasi organ sukarela melalui program transplantasi resmi. Pandangan fiqh syi’iyyah terhadap penjualan ginjal dalam memenuhi kebutuhan keluarga juga secara tegas melarangnya, karena hal ini melanggar prinsip perlindungan jiwa, kesehatan, dan kehormatan tubuh manusia. Praktik ini dianggap berisiko dan dapat mengakibatkan eksploitasi. Sebaliknya, fiqh sya̅fi'iyyah mendorong donasi organ secara sukarela dan ikhlas, serta menawarkan solusi alternatif seperti zakat, sedekah, wakaf, dan dukungan komunitas untuk mengatasi kesulitan finansial. Persamaan antara hukum positif dan fiqh sya̅fi'iyyah mengenai penjualan ginjal dalam memenuhi kebutuhan keluarga terletak pada larangan secara tegas terhadap praktik tersebut, Perbedaannya yaitu dalam sumber hukum yang digunakan, hukum positif mengacu pada undang-undang negara, sementara fiqh sya̅fi'iyyah berasal dari interpretasi hukum Islam oleh ulama. Selain itu, sanksi dan konsekuensi yang diterapkan juga berbeda, hukum positif memberlakukan sanksi pidana dan denda, sedangkan fiqh sya̅fi'iyyah lebih menekankan pada sanksi moral dan etika. Pendekatan terhadap solusi alternatif juga berbeda, di mana fiqh sya̅fi'iyyah cenderung mempromosikan nilai-nilai Islam seperti zakat dan sedekah, sementara hukum positif lebih fokus pada regulasi resmi terkait donor organ sukarela.