This article investigates the effectiveness of illegal cosmetic surveillance conducted by the Palangka Raya Food and Drug Monitoring Agency (BPOM) through the locally developed digital platform ELAMAHAMEN, an area that remains underexplored in existing scholarship. Employing a qualitative research design grounded in Alfred Schutz’s social phenomenology, the study examines how stakeholders construct meaning, interpret risks, and experience digital-based supervision. Official BBPOM data indicate the continued presence of illegal cosmetics, with 4,000 products identified in 2023, 586 in 2024, and 705 in 2025. The novelty of this study lies in its analytical focus on community-driven digital supervision using a local platform, contrasting with prior research that has centered primarily on regulatory frameworks or institutional performance. The findings reveal that, despite strengthened inspection and public education initiatives, the overall effectiveness of surveillance remains limited due to low adoption of digital technology, weak inter-sectoral coordination, and insufficient public legal awareness. This study underscores the need to develop regulatory technology–based strategies and foster multi-stakeholder collaboration to build an adaptive, participatory, and sustainable digital surveillance ecosystem. Artikel ini mengkaji efektivitas pengawasan kosmetik ilegal oleh BBPOM Kota Palangka Raya melalui platform digital lokal ELAMAHAMEN, suatu topik yang masih jarang dieksplorasi dalam kajian akademik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi sosial Alfred Schutz untuk memahami konstruksi makna, persepsi risiko, serta pengalaman para pemangku kepentingan dalam pengawasan berbasis digital. Data resmi BBPOM menunjukkan masih maraknya peredaran kosmetik ilegal, yakni 4.000 produk pada tahun 2023, 586 produk pada tahun 2024, dan 705 produk pada tahun 2025. Kebaruan penelitian ini terletak pada fokus analisis terhadap mekanisme pengawasan digital yang bersifat partisipatif melalui platform lokal yang memungkinkan masyarakat melaporkan dan melakukan pengawasan mandiri, berbeda dari penelitian sebelumnya yang lebih menekankan aspek regulasi atau kinerja kelembagaan. Temuan menunjukkan bahwa meskipun upaya pengawasan dan edukasi telah ditingkatkan, efektivitas keseluruhan masih terbatas karena rendahnya pemanfaatan teknologi, lemahnya koordinasi lintas sektor, serta minimnya kesadaran hukum masyarakat. Penelitian ini menegaskan urgensi pengembangan strategi berbasis regulatory technology dan kolaborasi multipihak untuk membangun sistem pengawasan digital yang adaptif, partisipatif, dan berkelanjutan.