Meak, Windobrodus
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Radikalisme Agama sebagai Suatu Problema Kebersamaan Hidup di Indonesia (Sebuah Kajian dari Perspektif Kristiani lewat Perumpaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati [Lukas 10:25-37]) Meak, Windobrodus
Forum Vol 54 No 2 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologia dan Filsafat Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/forum.v54i2.641

Abstract

Fokus tulisan ialah melihat peran penting agama di ruang publik dalam menghadapi radikalisme yang sifatnya menegasikan salah satu ciri khas dari bangsa Indonesia yakni keberagaman. Penelitian ini bertujuan memberikan suatu gambaran mengenai sesama adalah teman, sahabat, kerabat, dalam satu lingkup bangsa Indonesia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya fenomena radikalisme agama, maka menggali konsep radikalisme agama menurut perspektif Lukas 10:25-37 akan menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa radikalisme agama terletak pada penghayatan iman yang berbuah pada kasih akan sesama sebagaimana yang ditunjukkan oleh orang Samaria yang murah hati. Penulis menemukan bahwa dengan menggali konsep radikalisme agama menurut Lukas 10:25-37 memiliki pandangan yang solid tentang kasih sejati adalah kasih yang nyata, kasih yang tidak berhenti pada perasaan melainkan berlanjut pada perbuatan positif yang nyata. Berdasarkan hal tersebut penulis memberi sumbangan bahwa kasih sejati itu mengatasi batas-batas keagamaan. Metode penelitian yang dipakai ialah studi kepustakaan dan analisis teks Lukas 10: 25-37. Kata Kunci: Radikalisme Agama, Lukas 10:25-37, Kasih Sejati.
Pandangan John Locke tentang Kontrak Sosial dan Peran Pemimpin Lokal dalam Melindungi Hak Asasi Manusia Fridolin Odilia Muti; Meak, Windobrodus; Robertus Wijanarko
Forum Vol. 54 No. 2 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologia dan Filsafat Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/forum.v54i2.755

Abstract

Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis pandangan John Locke mengenai kontrak sosial dan hak asasi manusia, serta peran penting pemimpin lokal dalam menjaga keadilan dan menghormati hak-hak rakyat. Latar belakang penelitian ini mengacu pada teori kontrak sosial Locke yang menekankan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari persetujuan rakyat dan bahwa hak asasi manusia, seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan, harus dilindungi. Dalam konteks ini, pemimpin lokal memiliki tanggung jawab untuk menjaga prinsip-prinsip tersebut, terutama dalam konteks pemerintahan yang dekat dengan masyarakat. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami tanggung jawab pemimpin lokal dalam melindungi hak-hak dasar rakyat dan menjaga legitimasi pemerintahannya dalam kerangka teori kontrak sosial Locke. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, dengan menganalisis karya utama Locke, Two Treatises of Government, serta literatur terkait yang membahas kontrak sosial dan hak asasi manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, menurut Locke, pemimpin lokal harus menegakkan prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak alamiah rakyat, dan apabila pemimpin gagal memenuhi kewajiban ini, maka legitimasi pemerintahannya dapat dipertanyakan. Simpulan penelitian ini adalah bahwa prinsip-prinsip Locke tetap relevan dalam konteks pemerintahan lokal modern, di mana keadilan dan perlindungan hak asasi manusia harus diutamakan untuk menjaga legitimasi dan kesejahteraan rakyat.
Antara Keberadaan dan Pencitraan: Filsafat Eksistensialisme, Media Sosial, dan Krisis Identitas Kaum Muda Keno, Alexander; Hardin , Afirinus; Bagus, Yohanes Dediyanto; Meak, Windobrodus
Seri Filsafat Teologi Vol. 35 No. 34 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v35i34.267

Abstract

Fokus tulisan ini adalah menganalisis krisis identitas kaum muda di era media sosial melalui pendekatan filsafat eksistensialisme. Pencitraan digital yang masif telah menggeser makna keberadaan menjadi performa visual demi validasi sosial, sehingga memicu kecemasan dan ketidakaslian dalam pembentukan identitas diri. Tujuan penulisan ini adalah menguraikan relevansi pemikiran eksistensialis khususnya Jean-Paul Sartre, Søren Kierkegaard, dan Albert Camus dalam memahami fenomena tersebut. Metodologi yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif, menggabungkan sumber filsafat dan kajian kontemporer tentang media sosial. Sartre menyoroti kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan hidup; Kierkegaard menekankan pentingnya menghadapi kecemasan sebagai jalan menuju keotentikan; sementara Camus melihat absurditas sebagai panggilan untuk menciptakan makna secara sadar. Temuan utama menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi sumber alienasi diri ketika individu lebih fokus pada pencitraan dibanding eksistensi otentik. Tulisan ini mengajak kaum muda untuk merefleksikan kembali makna keberadaan dan menjalani hidup secara sadar, bebas, dan bertanggung jawab.
Antara Keberadaan dan Pencitraan: Filsafat Eksistensialisme, Media Sosial, dan Krisis Identitas Keno, Alexander; Hardin , Afirinus; Dediyanto Bagus , Yohanes; Meak, Windobrodus
Seri Filsafat Teologi Vol. 35 No. 34 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v35i34.271

Abstract

Fokus tulisan ini adalah menganalisis krisis identitas kaum muda di era media sosial melalui pendekatan filsafat eksistensialisme. Pencitraan digital yang masif telah menggeser makna keberadaan menjadi performa visual demi validasi sosial, sehingga memicu kecemasan dan ketidakaslian dalam pembentukan identitas diri. Tujuan penulisan ini adalah menguraikan relevansi pemikiran eksistensialis khususnya Jean-Paul Sartre, Søren Kierkegaard, dan Albert Camus dalam memahami fenomena tersebut. Metodologi yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif, menggabungkan sumber filsafat dan kajian kontemporer tentang media sosial. Sartre menyoroti kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan hidup; Kierkegaard menekankan pentingnya menghadapi kecemasan sebagai jalan menuju keotentikan; sementara Camus melihat absurditas sebagai panggilan untuk menciptakan makna secara sadar. Temuan utama menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi sumber alienasi diri ketika individu lebih fokus pada pencitraan dibanding eksistensi otentik. Tulisan ini mengajak kaum muda untuk merefleksikan kembali makna keberadaan dan menjalani hidup secara sadar, bebas, dan bertanggung jawab.