Penelitian ini menelaah bagaimana subkultur Cina Benteng membangun harmonisasi sosial di tengah dominasi budaya Sunda Muslim di Kalipasir, Tangerang. Fokus utamanya adalah adaptasi kelompok minoritas tanpa kehilangan identitas budaya. Dengan pendekatan kualitatif dan metode etnografi berbasis teori Bourdieu, penelitian ini mengungkap tiga proses habituasi. Pertama, internalisasi nilai dominan melalui adaptasi tradisi Peh Cun dengan unsur Sunda Muslim, partisipasi dalam ritual lokal, serta akulturasi seni Gambang Kromong dan Tari Cokek. Kedua, reflektivitas hegemoni budaya tampak dalam penggunaan bahasa Sunda oleh komunitas Cina Benteng. Ketiga, pembentukan habitus melalui interaksi sosial intens dan jejaring lintas kelompok yang memperkuat kohesi sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun hidup dalam hegemoni budaya, Cina Benteng berhasil menciptakan hubungan harmonis berbasis kolaborasi dan toleransi. Studi ini memperkaya pemahaman tentang dinamika keberagaman dan strategi adaptasi budaya dalam masyarakat multikultural Indonesia. This study examines how the Cina Benteng subculture sustains social harmony amid the cultural dominance of the Sunda Muslim community in Kalipasir, Tangerang. It focuses on how minority groups adapt while maintaining their cultural identity. Employing a qualitative ethnographic approach grounded in Bourdieu’s theory, the research identifies three habituation processes. First, dominant value internalization is seen in adapting Peh Cun traditions with Sunda Muslim elements, engaging in local rituals, and acculturating Gambang Kromong and Cokek Dance. Second, cultural hegemony reflexivity appears through the community’s use of the Sundanese language. Third, habitus formation develops via intensive social interactions and intergroup networks fostering social cohesion. The findings reveal that despite dominant culture, the Cina Benteng community achieves harmony through collaboration and tolerance. This study contributes to a deeper understanding of cultural diversity and adaptive strategies within Indonesia’s multicultural society.