Persoalan pemimpin perempuan sudah menjadi polemik sejak dahulu, apalagi menjelang tahun-tahun politik. Sampai kini belum ada konsensus maupun fatwa dari lembaga resmi ulama di dunia maupun di Indonesia mengenai larangan atau keharaman pemimpin perempuan. Meskipun belum ada fatwa resmi, namun mayoritas ulama maupun para intelektual Muslim baik klasik (’ulama mutaqaddimun) maupun kontemporer (’ulama mutaakhirin) yang mengharamkan perempuan menempati posisi setingkat khalifah, bahkan cukup banyak juga yang melarang posisi kepala negara, tetapi berbeda dengan posisi kepala pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di Aceh terdapat seorang intelektual muslim yang diakui keilmuannya dan pernah terjun langsung dalam politik praktis, yaitu Abuya Profesor Muhibuddin Waly. Menarik untuk diketahui terkait pandangan Abuya Profesor Muhibuddin Waly terkait sosio-kultural Aceh mengenai pemimpin perempuan untuk tingkat kepala daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa Abuya Profesor Muhibuddin Waly tidak melarang perempuan menjadi kepala daerah baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Surat An-Nisa ayat 34 tidak dapat dikaitkan dengan suksesi pemerintahan dan tidak dapat dijadikan dasar melarang perempuan untuk menjadi kepala pemerintahan. Relevansi Surat an-Nisa ayat 34 ini hubungan kedudukan antara suami dengan istri. Kemudian Hadis dari Abi Bakrah yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ahmad, Nasai dan Tirmizi berkenaan dengan ”tidak akan sukses kepemimpinan manakala berada di tangan perempuan” menurut Abuya tidak relevan bila dikaitkan dengan kondisi kekinian karena larangan tersebut terkait erat dengan kekuasaan mutlak (absolut) kekaisaran Romawi yang memimpin negara terbentang sampai tiga benua serta dalam kondisi perang berkobar di mana-mana.