Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KISAH-KISAH TRADISIONAL JAWA BARAT DALAM MEDIUM KOMUNIKASI VERBAL: KISAH-KISAH TRADISIONAL JAWA BARAT DALAM MEDIUM KOMUNIKASI VERBAL Darsa, Undang; Permana, Rangga; Sumarlina, Elis
Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora Vol 5 No 2 (2023): Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora (JKBH), Juni 2023
Publisher : PT. RANESS MEDIA RANCAGE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61296/jkbh.v5i2.155

Abstract

West Java is one of Indonesia's provinces with a wealth of literacy, including traditional tales dating back to prehistoric times. Over time, not only were these tales told orally, but they were also written down and published through various communication channels. From a communication perspective, verbal communication includes the oral and written transmission of messages from sources to recipients. Verbal communication is a form of communication that involves the use of spoken or written language. Traditional Sundanese oral and written narratives illustrate the instrumental and social functions of verbal communication. This study seeks to identify the traditional Sundanese tales, their classification into oral and/or written traditions, and the time period in which these tales first appeared. Authors collects data and conceptions regarding traditional Sundanese stories and verbal communication using a descriptive-qualitative methodology. The findings indicate that, from a communication standpoint, traditional Sundanese tales that have existed since prehistoric times can be classified as verbal communication, as these tales take the form of both oral and written communication. Oral Sundanese traditional tales are known as Carita Pantun, while written Sundanese traditional tales are manuscripts originating from mandala, Islamic boarding institutions, and schools. These traditional Sundanese tales are separated into five eras: prehistoric, regal, sultanate, colonial, and independence. From a communication standpoint, these traditional tales are a means of conveying events or phenomena that may have occurred in the past, as well as a means of cultural transmission from progenitors to descendants.
KERAJAAN SUNDA BIHARI DAN KIWARI BERBASIS NASKAH SUNDA KUNO: KERAJAAN SUNDA BIHARI DAN KIWARI BERBASIS NASKAH SUNDA KUNO Nani Sumarlina, Elis Suryani; Darsa, Undang
KABUYUTAN Vol 1 No 2 (2022): Kabuyutan, Juli 2022
Publisher : PT. RANESS MEDIA RANCAGE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61296/kabuyutan.v1i2.37

Abstract

Beberapa waktu lalu bermunculan kembali ‘kerajaan baru’, yang tentu saja masalah ini sudah ngageumbreungkeun ‘menghebohkan’ media sosial dan masyarakat, sekaligus menggelitik hati. Meskipun strategi, taktik, pola, arah, dan teknik yang mereka gunakan sudah terbaca, namun jika hal itu dibiarkan, akan semakin merajalela, karena semua hal yang kelompok mereka sampaikan tidak sesuai dengan data dan faktanya. Andai ingatan kita mundur ke beberapa waktu yang lalu, tatkala kerajaan Tarumanagara dianggap fiktif, tak ayal masyarakat Sunda terperangah dan terkejut. Ada apa? Masyarakat Sunda yang tatatengtrem ‘damai’ seakan terusik, demikian juga waktu hal itu terjadi. Mungkinkah fenomena ‘kerajaan abal-abal’ yang kini muncul saling berkaitan dengan adanya ‘pengingkaran terhadap kerajaan Tarumanagara dimaksud? Jawabannya mungkin ya mungkin juga tidak. Untuk mengungkap masalah ini, akan digunakan metode penelitian deskriptif dan metode kajian filologis, historiografi tradisional, sosial, komunikasi politik, dan kajian budaya secara secara multidisiplin, agar diperoleh gambaran, data serta fakta berdasarkan naskah Sunda kuno yang mengungkap permasalahan yang ada kaitannya dengan kerajaan Sunda masa lampau beserta aspek-aspek yang mendukung ke arah masalah kepemimpinan, sistem pemerintahan, dan pembagian kekuasaan, yang terungkap dalam naskah dan prasasti.
PENGARUH TRADISI KRITIK BARAT DAN ASIAN VALUES DALAM MEMBENTUK TRADISI KRITIK INDONESIA: Pengaruh Tradisi Kritik Barat dan Asian Values dalam Membentuk Tradisi Kritik Indonesia Permana, Rangga; Darsa, Undang; Sumarlina, Elis
KABUYUTAN Vol 3 No 1 (2024): Kabuyutan, Maret 2024
Publisher : PT. RANESS MEDIA RANCAGE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61296/kabuyutan.v3i1.220

Abstract

Tradisi kritik mulai tumbuh dan berkembang pada masa Pencerahan (Enlightenment era) di Eropa. Era Pencerahan membawa perubahan pemikiran manusia menjadi lebih logis, sistematis dan kritiks. Pencerahan meletakkan landasan intelektual bagi tradisi kritik Barat dengan mengedepankan nalar, individualisme, hak asasi manusia, dan komitmen terhadap penyelidikan empiris. Jauh setelah itu, pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia memberlakukan “Asian values” (“nilai-nilai Asia”) yang coba diimplementasikan melalui Pancasila. Asian values-lah yang membentuk tradisi kritik khas Indonesia yang muncul pada masa Orde Baru. Melalui kajian ini, penulis ingin mengemukakan bahwa terdapat dua konsep yang memengaruhi tradisi kritik di Indonesia. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tradisi kritik Barat dan Asian values memengaruhi terbentuknya tradisi kritik Indonesia yang kita kenal sekarang. Penulis menggunakan metode kajian literatur dalam artikel ini. Penulis mengumpulkan berbagai referensi, mulai dari buku, artikel jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian, hingga sumber-sumber referensi yang berasal dari internet. Seluruh sumber tersebut mencakup konsep-konsep mengenai kritik secara umum, tradisi kritik Barat, Asian values dan referensi-referensi lain yang relevan dengan konsep-konsep tersebut. Hasil menunjukkan bahwa terdapat dualisme tradisi yang memengaruhi tradisi kritik Indonesia, yaitu tradisi kritik Barat yang ciri-cirinya dipengaruhi era Pencerahan di Eropa dan tradisi kritik yang dipengaruhi Asian values dan otoritarianisme. Di satu sisi, sejumlah kritikus dan budayawan Indonesia cenderung menggunakan cara kritik Barat yang lahir dari era Pencerahan dalam karya-karya yang mereka hasilkan. Di sisi lain, Asian values juga memegang peranan penting dan memiliki pengaruh besar dalam terbentuknya tradisi kritik Indonesia yang bersifat tidak langsung dan mengedepankan harmoni.
KRITIK MENGENAI MARJINALISASI ORANG KOTA TERHADAP ORANG DESA DI FILM-FILM SI KABAYAN Permana, Rangga; Sumarlina, Elis; Darsa, Undang
KABUYUTAN Vol 3 No 2 (2024): Kabuyutan, Juli 2024
Publisher : PT. RANESS MEDIA RANCAGE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61296/kabuyutan.v3i2.252

Abstract

Dongeng-dongeng mengenai Si Kabayan sudah dikenal luas sejak zaman dahulu di tengah masyarakat Sunda di Jawa Barat. Tujuan utama dari dongeng-dongeng Si Kabayan adalah untuk menghibur, tidak jarang pula ada beberapa pencipta yang juga memasukkan unsur-unsur nilai moral, pendidikan, sampai kritik pada karya-karyanya. Dalam perkembangannya, dongeng-dongeng tersebut juga telah bertransformasi menjadi berbagai medium, mulai dari tradisi lisan sampai yang terbaru adalah serial yang ditayangkan di platform YouTube. Salah satu bentuk media yang dapat menjadi medium utnuk menyampaikan pesan-pesan bernada kritik sosial adalah film-film fitur Si Kabayan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan kajian mengenai film-film Kabayan sebagai medium kritik, terutama kritik mengenai marjinalisasi yang dilakukan oleh orang-orang kota terhadap orang-orang desa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana scene-scene dari film Si Kabayan dan Anak Jin (1991) dan Si Kabayan Saba Metropolitan (1992) menggambarkan kritik dengan tema marjinalisasi orang kota terhadap orang desa. Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis teks yang terdapat dalam scene-scene kedua film tersebut. Penulisan ini berfokus untuk mencari dan menganalisis data yang berkaitan dengan perkataan, sikap dan perilaku orang kota yang memarjinalisasi orang desa. Penulis mengambil tiga unit analisis dari dua film Si Kabayan di atas. Hasil menunjukkan bahwa scene pertama yang diambil dari film Si Kabayan dan Anak Jin (1991) mengkritisi sikap arogan orang kota terhadap orang desa. Sedangkan scene kedua dan ketiga yang diambil dari film Si Kabayan Saba Metropolitan (1992) mengkritisi sikap orang kota yang selalu merasa lebih superior dibandingkan orang desa, dan menganggap bahwa semua hal dan keinginan bisa dicapai dengan kekuatan uang.