Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Tinjauan Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Terhadap Adat Merariq (Kawin Culik) Pada Tradisi Perkawinan Adat Suku Sasak Aprianita, Triana
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 6 No. 2 (2023): Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32665/almaqashidi.v6i2.2451

Abstract

Tradisi Perkawinan merariq yaitu praktik perkawinan dengan melarikan anak gadis orang, tradisi merariq ini merupakan tradisi yang masih eksis sampai saat ini di masyarakat suku Sasak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui  adat merariq yang berlaku di masyarakat suku sasak ditinjau dari segi hukum Islam dan hukum adat. Adapun metode penelitian ini bersifat normatif atau penelitian kepustakaan dengan menggambarkan tradisi merariq dalam suku Sasak, tradisi merariq sudah melekat pada masyarakat Lombok karena sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Oleh karena itu tidak ada larangan dalam Islam mengenai praktik merariq karena sudah memenuhi kriteria syarat yang bisa dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang baik. Tradisi merariq dari perspektif hukum adat adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat suku Sasak, hukum adat dihormati dan dihargai oleh masyarakat suku Sasak serta berperan penting dalam menjaga ketertiban dan kerukunan masyarakat antar suku Sasak. Keberadaan budaya merariq ini sesungguhnya tidak lebih dari perwujudan resistensi kaum laki-laki atas dominasi kebudayaan, politik dan ekonomi. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian literature mengenai adat merariq dan memberikan kontribusi positif bagi kalangan akademisi mengenai adat merariq bahwa tradisi ini merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Menolak Tunduk Aprianita, Triana; Wahyudi, Johan
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 13 No 02 (2024): Teks Suci, Ortografi Pegon dan Sejarah Sosial dalam Kajian Islam Nusantara
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51925/inc.v13i02.121

Abstract

This article examines the existence of Tawan Karang Rights as one of the traditional legal practices in the archipelago which was maintained by the coastal communities of the Dutch East Indies until the end of the 19th century. The focus of this research is to understand how Tawan Karang Rights as a form of customary law interact, conflict and negotiate with the international shipping legal framework introduced by the Dutch colonial era. This research uses legal research methods by looking at the legal products of Tawan Karang in the Kingdom of Bali and the Kingdom of Teunom, in Aceh and comparing them with conventional shipping law at that time. This article shows that the interaction between Tawan Karang Rights and international shipping law in the Dutch East Indies was a reflection of the broader conflict between customary law and colonial law. This practice not only reflects the socio-economic dynamics of coastal communities, but also highlights how customary law attempts to negotiate its existence in the face of modern legal pressures brought about by colonialism. Artikel ini mengkaji keberadaan Hak Tawan Karang sebagai salah satu praktik hukum tradisional di Nusantara yang dipertahankan oleh masyarakat pesisir Hindia Belanda hingga akhir abad ke-19. Fokus penelitian ini adalah memahami bagaimana Hak Tawan Karang sebagai bentuk hukum adat berinteraksi, berkonflik, dan bernegosiasi dengan kerangka hukum pelayaran internasional yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan melihat produk hukum Tawan karang di Kerajaan Bali dan Kerajaan Teunom, di Aceh dan mengkomparasikannya dengan hukum pelayaran konvensional kala itu. Artikel ini menunjukkan bahwa interaksi antara Hak Tawan Karang dan hukum pelayaran internasional di Hindia Belanda merupakan cerminan dari konflik yang lebih luas antara hukum adat dan hukum kolonial. Praktik ini tidak hanya mencerminkan dinamika sosial-ekonomi masyarakat pesisir, tetapi juga menyoroti bagaimana hukum adat berupaya menegosiasikan keberadaannya dalam menghadapi tekanan hukum modern yang dibawa oleh kolonialisme.