Pencuri (sāriqah) yang termaktub pada Al-Maidah ayat 38 yaitu surah kelima dalam Al-Qur’an, memuat lafadz qaṭa‛a (potong) telah lama menjadi subjek perbedaan interpretasi. Kesenjangan antara perintah tekstual ini dengan implementasi hukum di negara modern seperti Indonesia, melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna historis (ma’na at-tarikhi) lafadz qaṭa‛a, mengetahui pesan utama (maghza at-tarikhi) dan menganalisis kontekstualisasi masa kini (maghza al-mutaharrik al-muasir). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pustaka (library research) dengan kerangka teori hermeneutika ma’na cum maghza. Data primer dianalisis dari tiga kitab tafsir yaitu al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Iklil karya KH. Misbah bin Zain al-Mustofa, dan al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga mufasir sepakat pada maghza historis (pembalasan dan pencegahan), namun berbeda pada ma’na dan kontekstualisasi. Al-Zamakhshari menetapkan ma’na linguistik-fiqh (potong pergelangan tangan kanan). KH. Misbah menegaskan ma’na legal-absolut yang menolak kontekstualisasi dinamis. Sebaliknya, Quraish Shihab menawarkan ma’na sosio-historis dan maghza kontemporer yang paling signifikan, yakni memahami hukuman potong tangan sebagai batas maksimal (hadd al-a’la), yang memberi diskresi hakim untuk sanksi alternatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemahaman maghza al-mutaharrik, khususnya melalui pendekatan Quraish Shihab, menawarkan jembatan relevan antara teks wahyu dan sistem hukum kontemporer. Tiga pandangan mufasir tentang lafadz qaṭa‛a dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 38 melalui pendekatan tafsir (linguistik-fiqh, legal-absolut, sosio-historis) menggunakan kerangka ma’na cum maghza menjadi kontribusi praktis dalam penelitian ini.