Kolaborasi proyek di bidang teknologi informasi (TI) seringkali diawali dengan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kesepakatan awal antar para pihak, termasuk programmer sebagai eksekutor teknis. MoU diharapkan menjadi pedoman moral dan kerangka kerja sebelum kontrak formal mengikat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum dan etika yang timbul ketika seorang programmer melakukan pelanggaran terhadap klausul-klausul yang disepakati dalam MoU. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif (hukum normatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan analisis konseptual (conceptual approach), serta ditinjau dari perspektif etika profesi TI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi hukum dari pelanggaran MoU sangat bergantung pada kekuatan mengikatnya. Apabila MoU tersebut telah memenuhi unsur-unsur esensial suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka pelanggarannya dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, yang membuka ruang untuk tuntutan ganti rugi. Namun, jika MoU hanya diposisikan sebagai kesepakatan awal (gentleman's agreement), kekuatan eksekutorialnya lemah, meskipun pelanggarannya dapat menjadi bukti adanya itikad tidak baik (Pasal 1338 KUHPerdata). Dari perspektif etika, pelanggaran MoU oleh programmer mencerminkan pengabaian terhadap prinsip profesionalisme, integritas, dan konfidensialitas, yang berpotensi merusak reputasi profesional dan menurunkan tingkat kepercayaan dalam industri. Studi ini menyimpulkan bahwa pelanggaran MoU memiliki dampak ganda, baik secara yuridis maupun etis, yang menyoroti pentingnya kejelasan klausul MoU dan penguatan komitmen etika profesi bagi programmer.