The development of digital technology has accelerated the integration of artificial intelligence into media ecosystems, reshaping how information is produced and disseminated. The growing use of artificial intelligence-generated content has expanded the circulation of inaccurate or misleading information, weakening public trust and triggering turbulence within legal culture. This trend aligns with the post-truth era, where emotional persuasion outweighs factual accuracy. Using a descriptive qualitative approach combining survey data and literature analysis, this study examines how artificial intelligence influences disinformation dynamics and the stability of legal culture. The findings underscore the need for adaptive state regulation, accountable technological development, and strengthened digital literacy supported by empathetic approaches to address disinformation and restore public trust. Abstrak Perkembangan teknologi digital telah mempercepat integrasi kecerdasan buatan ke dalam ekosistem media, sehingga membentuk ulang cara informasi diproduksi dan disebarluaskan. Meningkatnya penggunaan konten berbasis artificial intelligence turut memperluas peredaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan, yang pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan publik dan memicu turbulensi dalam budaya hukum. Perkembangan ini sejalan dengan kondisi era post-truth yang lebih menonjolkan persuasi emosional dibandingkan akurasi faktual. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif yang memadukan data survei dan analisis literatur, penelitian ini mengkaji bagaimana kecerdasan buatan memengaruhi dinamika disinformasi dan stabilitas budaya hukum. Hasil penelitian menegaskan pentingnya regulasi negara yang adaptif, pengembangan teknologi yang akuntabel, serta penguatan literasi digital dengan dukungan pendekatan yang empatik untuk menghadapi disinformasi dan memulihkan kepercayaan publik.