Kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira<’ah salafiyyah, qira<’ah ta’wiliyyah, dan qira<’ah maqash{idiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah ditutup. Dalam kontek menggelorakan ijtihad al-As}lah. Dalam implementasinya, pengawinan dua metodologi tersebut menurut hemat saya harus memenuhi prasyarat utama yaitu menjadikan al-maslahah al-‘ammah (kepatutan umum) sebagai pertimbangan penentu dalam menggali sebuah hukum pada tiga ranah utamanya yaitu dharuriyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan normal), dan tahsiniyat (kebutuhan komplementer). Mengapa, karena menurut Abdul Wahab Khallaf, pada hakikatnya hukum Islam selalu dibangun atas dasar mewujudkan maslahah. Sementara untuk menilai ada atau tidaknya mas{lahah pada suatu perbuatan hukum harus selalu memperhatikan kondisi riil. Pada titik inilah kontekstualisasi teks-teks agama menjadi kebutuhan.
Copyrights © 2017