Dalam hukum pidana peranan alat bukti dan proses pembuktian sangat menentukan suatu perkara dapat dikatakan melanggar ukum atau tidak.Tindak Pidana Korupsi yang secara khusus telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sebenarnya telah memiliki cara pembuktian yang diharapkan dapat membantu para penegak hukum dalam mengungkap asal kekayaan yang dimiliki oleh koruptor dengan cara terdakwa wajib menjelaskan dan meyakinkan bahwa harta kekayaannya bukanlah hasil korupsi. Cara itu disebut pembuktian terbalik atau sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijlast). Hal-hal tersebut sangat jelas di atur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37, Pasal 37 A ayat (1) dan Pasal 38 B. Ketentuan pada Pada Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan penyimpangan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana Jaksa yang wajib membuktikan suatu tindak pidana oleh terdakwa dan bukan terdakwa. Seperti termuat pada Pasal 66 KUH Pidana. Pasal 37 UU TPK tersebut telah menimbulkan dilematik antara doktrin hukum pidana dan konvensi internasional mengenai hak asasi manusia yang tidak mengakui pembuktian terbalik untuk menentukan kasalahan tersangka, juga akan diperhadapkan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) karena hal ini dapat berarti dalam asas pembuktian terbalik hakim telah berpraduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana . Lain halnya dalam penjelasan Pasal 66 KUH Pidana menyebutkan bahwa ini merupakan penjelmaan dari asas praduga tak bersalah.
Copyrights © 2022