Sekurang-kurangnya, masih terdapat dua persoalan yang menuai pro-kontra dalam kajian tentang bagaimana konstitusi di Indonesia mengatur hukum per-kawinan: Pertama, terkait asas monogami yang masih menyediakan ruang po-ligami; kedua, larangan PNS wanita menjadi istri poligami. Sebagian kalangan meneliti dan sampai pada kesimpulan bahwa aturan-aturan tersebut tidak mencerminkan sisi kemanusiaan, alih-alih melahirkan keadilan, justru semakin mengokohkan subordinasi seorang perempuan. Dari sekian banyak pendekatan yang digunakan, penulis menemukan satu aspek yang sebenarnya penting un-tuk dijadikan pertimbangan dalam analisis pengkajian, namun luput dari pem-bahasan, yaitu keterlibatan elite agama (Kiai) sebagai respon masyarakat atas peraturan dimaksud, mengingat bahwa kelompok Kiai memiliki pengaruh dan peran sentral dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Dari itu, permasa-lahan kajian ini akan berfokus seputar bagaimana pandangan elite agama Situbondo atas peraturan pemerintah yang berkaitan dengan poligami serta se-jauh mana relevansi pandangan mereka dalam timbangan maslahah. Penelitian ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa para Kiai di lingkungan Situbondo menyetujui UU pernikahan tentang poligami, lebih tepatnya tentang syarat ketat yang diberlakukan, karena memiliki kesesuaian dengan ketentuan norma hukum di dalam Islam. Namun, mereka tidak setuju dengan larangan menjadi istri poligami bagi PNS wanita, karena dipandang menabrak ketentuan nass. Dalam perspektif maslahah, respon elite agama (Kiai) Situbondo atas aturan poligami bersyarat tersebut telah sesuai dengan kriteria kemaslahatan. Akan tetapi, khusus larangan menjadi istri poligami bagi PNS wanita, dianggap ti-dak sejalan dengan prinsip keadilan.
Copyrights © 2023