Persoalan layaknya perempuan menjadi wali nikah dalam kajian fikih sebenarnya sudah pernah dibicarakan pada awal tahun Hijriyah, namun belakangan muncul kembali karena munculnya isu kesetaraan gender, sehingga kemudian, wacana tersebut kembali menghangat dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga nampaknya perlu dilakukan kajian ulang mengenai hukum perempuan menjadi wali nikah dalam pandangan fiqh. Penelitian ini merupakan upaya yang tidak hanya mencari fakta hukum perempuan menjadi wali nikah dalam pandangan para ulama, namun juga mencari solusi yang tepat untuk mencairkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hukum perempuan menjadi wali nikah. Penelitian ini merupakan penelitian berbasis kepustakaan (library study), dimana sumber data utama dalam penelitian ini adalah kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama pada pertengahan abad hijriyah maupun sebelum dan sesudahnya. Hasil dari penelitian ini adalah dalam kajian fiqh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum perempuan menjadi wali nikah, dimana yang mendasari perbedaan pendapat tersebut terletak pada ‘illat yang dipahami masing-masing ulama, seperti Hanafiyah dan Para ulama Malikiyah memahami bahwa “bikarah” atau kedewasaan berpikir seorang wanita menjadi sebuah ‘illat yang menyebabkan seorang wanita dianggap tidak diperbolehkan menjadi wali nikah, sehingga mazhab ini menganggap wanita yang sudah matang (dalam berpikir) termasuk janda dapat menjadi wali perkawinan atau mengawini dirinya sendiri. Bagi Peneliti pendapat kedua mazhab tersebut (Hanafiyah dan Malikiyah) dianggap lebih kuat. Jadi, bagi Peneliti, perempuan yang dianggap sudah matang cara berpikirnya bisa saja menjadi wali nikah atau menikahkan dirinya sendiri, seperti seorang janda yang dianggap lebih memahami kehidupan berkeluarga dibandingkan yang belum pernah mengalaminya, sehingga dia berhak menjadi wali bagi dirinya sendiri.
Copyrights © 2023