Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak hanya memberikan peringatan tentang dampak risiko pandemi COVID-19, tetapi juga menekankan banyaknya informasi yang beredar di dunia maya, yang tidak dapat diverifikasi benar atau salahnya, WHO menyebut istilah tersebut sebagai 'infodemik', atau gabungan dari dua kata yaitu informasi dan pandemi. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa, di media sosial, informasi palsu lebih banyak dibagikan daripada informasi berbasis bukti. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menganalisis peredaran informasi palsu berbasis bukti selama keadaan darurat kesehatan. Namun masih ada yang buruk atau kurangnya sudut pandang oleh tanggapan publik terhadap reputasi lembaga pemerintah (Fungsi Hubungan Masyarakat). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana penggunaan informasi yang bertanggung jawab sangat dipengaruhi oleh motivasi pengguna dalam mengarahkannya pada manfaat sosial-psikologis. Untuk menganalisis hal tersebut, peneliti berupaya melihat sejauh mana penggunaan media sosial berkontribusi terhadap penyebaran informasi dan/atau misinformasi di tengah masyarakat terkait pandemi Covid-19, dengan menggunakan metode kualitatif dengan studi komparatif menggunakan pendekatan Albert Bandura tentang Teori Kognitif Sosial (SCT) dan Teori Komunikasi Krisis Situasional (SCCT) dari beberapa sumber sekunder (Buku, Jurnal Media Sosial). Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi palsu paling banyak disebarkan oleh pengguna pada awal krisis akibat kepanikan (moral panic) yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan Pemerintah sebagai penyedia informasi yang berwenang untuk menyampaikan pesan-pesan utama. Temuan ini menunjukkan bahwa kehadiran Pemerintah untuk memberikan informasi yang benar dan akurat akan memperkuat reputasinya di mata publik.Keywords: Komunikasi Krisis, Infodemi, Teori SCT SCCT, Media Sosial, Humas dan Respon Pemerintah
Copyrights © 2024