Upaya penerapan pengurangan waktu tunggu (dwelling time) telah dilakukan di beberapa pelabuhan di Indonesia. Salah satu penyebab tingginya Dwelling Time di pelabuhan adalah tumpang tindih peraturan yang terjadi. Saat ini Pelabuhan Indonesia akan dikurangi dari 200 izin di pelabuhan menjadi hanya beberapa izin yang sangat penting. Pelabuhan Singapura yang relatif kecil dan sempit misalnya, telah menggunakan pola perizinan yang ringkas seperti ini. Pelabuhan Singapura rata-rata hanya mempunyai waktu tunggu 1 (satu) hari, sedangkan Pelabuhan Tanjung Priuk sampai dengan 6 (enam) hari. Penerapan serupa juga dilakukan di Pelabuhan Teluk Bayur, sebagai contoh lokasi percontohan. Uji coba ini dilakukan dengan pola mematuhi aturan hukum internasional dan nasional serta menetapkan aturan Pelabuhan yang mengurangi waktu tunggu tersebut. Pengaturan yang tumpang tindih selama ini berdampak signifikan terhadap penambahan waktu tunggu pelabuhan Indonesia. Padahal kedudukan tersebut dapat dikurangi dengan melakukan modifikasi pelaksanaan dan penyempurnaan aturan hukum yang ada. Hukum dapat menjadi sarana perbaikan pelabuhan melalui teori hukum pembangunan Mochtar Kusumatmadja bahwa hukum dapat menjadi sarana pembangunan. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pelayaran yang menyatakan bahwa pelabuhan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang dan mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang. Pada tahun 2017 Indonesia telah memasuki era kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN. Salah satu isu yang dapat dikedepankan Indonesia adalah penguatan pelabuhan anggota agar mampu meningkat daya saingnya setara dengan pelabuhan utama anggota. Negara-negara Anggota ASEAN seperti Singapura dan Malaysia dapat berbagi pengalamannya dalam mengelola pelabuhan sehingga dapat memicu pengurangan waktu tunggu (dwelling time) di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.
Copyrights © 2024