Program sister school didirikan sebagai bagian dari upaya peningkatan kesiapsiagaan bencana di lingkungan pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kesiapsiagaan siswa dan mengidentifikasi perbedaan kesiapsiagaan antara dua sekolah “sister school”, yaitu SMAN 1 Cangkringan dan SMAN 1 Pakem. SMAN 1 Cangkringan sangat terdampak selama bencana letusan besar Gunung Merapi pada tahun 2010, yang mengakibatkan harus dilakukan evakuasi sekitar 95% siswa dan kerusakan tempat tinggal siswa mencapai 30% rumah, serta  mengakibatkan kematian sejumlah 5 orang di antara keluarga siswa SMAN 1 Cangkringan. Penilaian kesiapsiagaan kedua sekolah ini menggunakan empat indikator yaitu pengetahuan, rencana tanggap darurat, peringatan dini bencana, dan mobilisasi sumber daya. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari 101 responden dari kelas XI IPS, yang terdiri dari 50 siswa dari SMAN 1 Cangrkingan dan 51 siswa dari SMAN 1 Pakem. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain komparatif. Penelitian ini menggunakan data kuesioner dan menghasilkan temuan berupa: siswa di SMAN 1 Cangkringan memiliki skor indeks kesiapsiagaan sebesar 82,75, yang masuk ke dalam kategori sangat siap. Sementara, siswa di SMAN 1 Pakem memiliki skor indeks kesiapsiagaan sebesar 70,85, yang masuk ke dalam kategori siap. Berdasarkan analisis data menggunakan uji Mann Whitney, ditemukan bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0.001, karena nilai p kurang dari 0.05 (p = 0.001), yang berarti ada perbedaan signifikan dalam kesiapan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMAN 1 Cangkringan memiliki kesiapan yang lebih baik dibandingkan dengan SMAN 1 Pakem, karena nilai rata-rata peringkat SMAN 1 Cangkringan lebih tinggi yaitu 60,77, sedangkan nilai rata-rata peringkat SMAN 1 Pakem adalah 41,03.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025