Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disahkan, maka mulailah marak pengistilahan pekerja alih daya atau outsorching yang melaksanakan kerja dengan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT), lebih lanjut disebutkan di dalam pasal 64, 65 dan 66 UU Naker. Perbedaan interpretasi hukum terhadap UU Naker yang membahas tentang PKWT antara pengusaha dan pekerja menjadi keniscayaan mutlak terjadinya perselisihan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan. Pada pelaksanaan di lapangan kerja masih ditemukan banyak contoh kasus tentang perselisihan hubungan industrial yang salah satunya adalah perlindungan hukum kepada pekerja terutama kepada pekerja yang melakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dimana terkait penerapannya masih tidak berjalan secara optimal, mengingat sering terjadi pelanggaran dikarenakan oleh adanya ketidakjelasan aturan tentang penerapan PKWT yang baku. Penelitian ini menggunakan metode metode yuridis normatif dan deskriptif analitik yaitu penelitian yang menekankan pada studi pustaka dengan menggunakan bahan-bahan primer perundang-undangan, buku, literarur, internet atau sumber-sumber hukum yang masih ada kaitannya dengan penelitian ini, kemudian disajikan dengan sistematis yang menjelaskan suatu keadaan hingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang relevan. Perlindungan hukum terhadap pekerja PKWT yang diputus hubungan kerja secara sepihak yang mana sebelum berakhir masa kontrak sesuai perjanjian kerjanya. Pihak perusahaan seharusnya memberikan uang kompensasi karena pekerja diputus hubungan kerja (PHK) sebelum masa kontrak berakhir. Apabila karyawan kontrak itu telah memenuhi syarat maka tetap berhak menerima uang kompensasi PKWT sesuai masa kerja yang telah dijalaninya. Pada dasarnya pengusaha, pekerja, serikat pekerja, buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. Tetapi, jika PHK tidak bisa dihindari, maksud dan alasan PHK harus disampaikan pengusaha ke karyawan yang bersangkutan kepada serikat pekerja/buruh di dalam perusahaan jika karyawan itu merupakan anggotanya. Kemudian apabila ada perbedaan pendapat mengenai PHK terus berlanjut, pengusaha dan karyawan menyelesaikannya melalui perundingan bipartit. Akibat hukum bagi perusahaan yang telah melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap pekerja PKWT yakni bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-I/2003 serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005, dimana semua regulasi tersebut menjadi dasar hukum terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta pekerja yang mendapatkan PHK secara sepihak dari perusahaan.
Copyrights © 2022