Digitalisasi menghadirkan fenomena cancel culture yang berpotensi berimplikasi sebagai tindak pidana di media sosial. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengakaji cancel culture dalam perspektif hukum pidana untuk mengetahui relevansi hukum pidana dalam mengakomodasi perkembangan masyarakat dalam bermedia sosial, dengan menggunakan penelitian normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang melatarbelakangi cancel culture dapat berimplikasi sebagai tindak pidana jika memuat unsur pencemaran nama baik seperti yang dialami Gofar Hilman. Hukum pidana dapat mengakomodasi pelaku penyebar utama informasi elektronik melalui Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik. Dalam penegakan hukum cancel culture, memiliki tantangan tersendiri dikarenakan bersifat kompleks sehingga dalam penerapan pasal dan pembuktiannya peran ahli dibidang ilmu hukum, sosial, atau komunikasi sangat dipertimbangkan guna memberikan batasan pemahaman pada aparat penegak hukum untuk menghindari overcriminalization guna mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Copyrights © 2025