Dalam beberapa dekade terakhir, praktik seni dan pendidikan seni di Indonesia mengalami pergeseran makna yang signifikan. Seni tidak lagi difungsikan semata sebagai medium ekspresi, kontemplasi, dan pembebasan, melainkan direduksi menjadi instrumen prestise dalam logika simbolik institusional. Fenomena ini mencerminkan gejala timokrasi—yakni dominasi nilai-nilai kehormatan, persaingan visual, dan pencapaian formal—yang merembes ke dalam sistem pendidikan, kebijakan seni, dan kultur sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana logika timokratis membentuk wajah seni dan pendidikan seni di Indonesia, serta menelaah dampak-dampak ideologis dan pedagogis yang ditimbulkannya. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan interdisipliner kritis, memadukan analisis isi dan analisis wacana terhadap dokumen kebijakan, literatur teoretik, dan laporan kegiatan seni institusional. Hasil analisis menunjukkan bahwa timokrasi dalam pendidikan seni terwujud dalam bentuk penekanan berlebihan pada kompetisi, estetika formal, dan orientasi produk—terutama dalam kegiatan seperti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Praktik seni yang tidak sesuai dengan selera dominan atau bersifat reflektif-kritis cenderung disingkirkan. Pendidikan seni berubah menjadi alat pencitraan sekolah, bukan ruang emansipasi. Di sisi lain, muncul bentuk-bentuk resistensi dari guru dan komunitas yang mencoba mengembalikan seni sebagai praktik pedagogik yang membebaskan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya reformulasi kebijakan pendidikan seni yang lebih inklusif, kritis, dan etis, serta penguatan ruang-ruang alternatif untuk ekspresi seni yang beragam dan partisipatif.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025