The interpretation of monotheistic verses in Juz ‘Amma plays a pivotal role in shaping Islamic theological discourse. Amidst the rise of concealed shirk practices and spiritual disorientation in contemporary Muslim societies, Salafi-oriented Qur’anic exegesis has reemerged with a strong emphasis on the purification of faith. This study analyzes Firanda Andirja’s interpretation of three key surahs in Juz ‘Amma—Al-Ikhlas, Al-Falaq, and An-Nas—and compares them with classical (Al-Qurthubi) and modern contextual (Quraish Shihab) commentaries. Using a qualitative library-based approach and thematic (maudhu’i) method, this study examines how different exegetical traditions approach core tenets of tawhid, especially within the framework of rububiyyah, uluhiyyah, and asma’ wa sifat. The findings reveal that Firanda employs a rigid, literalist, and theologically apologetic style rooted in Salafi epistemology, while Al-Qurthubi’s exegesis is philological and jurisprudential, and Quraish Shihab adopts a reflective, contextual style. While Firanda’s approach strengthens theological clarity, it tends to lack social engagement and ethical reflection. This study contributes to the development of Salafi exegetical literature and offers critical insight into the role of monotheistic interpretation in addressing contemporary religious challenges. Abstrak: Penafsiran ayat-ayat monoteisme dalam Juz ‘Amma memainkan peran sentral dalam pembentukan akidah umat Islam. Di tengah maraknya praktik syirik terselubung dan krisis spiritual modern, tafsir Salafi kontemporer menjadi salah satu arus penting yang menekankan pemurnian tauhid. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis penafsiran Firanda Andirja terhadap tiga surah kunci dalam Juz ‘Amma—Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas—dan membandingkannya dengan tafsir klasik Al-Qurthubi serta tafsir kontemporer Quraish Shihab. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research) dan pendekatan tematik (maudhu’i). Data primer bersumber dari tafsir Firanda Andirja, sedangkan data sekunder mencakup Al-Qurthubi dan Al-Misbah, serta literatur pendukung lainnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa Firanda mengusung tafsir teologis-apologetik dengan penekanan kuat pada tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa sifat secara literal dan tekstual, berbeda dengan Qurthubi yang bersifat filologis-mazhabi, dan Quraish Shihab yang kontekstual-reflektif. Penafsiran Firanda memiliki kekuatan dalam menguatkan akidah, tetapi cenderung minim dalam refleksi sosial dan etika publik. Kajian ini berkontribusi dalam memperluas literatur tafsir bercorak salafi serta menawarkan perspektif baru dalam menghadapi tantangan keberagamaan umat Islam kontemporer.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025