Kesenjangan pembiayaan iklim (green debt) yang semakin lebar di negara-negara berkembang menjadi tantangan serius dalam mencapai target pengurangan emisi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Di tengah tekanan utang dan keterbatasan fiskal, konsep diplomasi utang hijau muncul sebagai pendekatan alternatif yang menghubungkan pelunasan utang dengan pendanaan aksi iklim. Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara kritis bagaimana mekanisme diplomasi utang hijau diterapkan di Sri Lanka, Pakistan, dan kawasan Sub-Sahara Afrika, serta mengevaluasi efektivitasnya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Penulisan dilakukan melalui pendekatan deskriptif kualitatif berbasis studi pustaka, dengan merujuk pada artikel-artikel ilmiah terkini yang terindeks Scopus. Dengan melakukan pendekatan teori modernisasi, temuan utama menunjukkan bahwa meskipun skema ini menjanjikan sebagai solusi pembiayaan inovatif, pelaksanaannya masih terbatas oleh ketimpangan kekuasaan dalam sistem global, lemahnya kapasitas fiskal negara penerima, serta minimnya komitmen negara maju dalam merealisasikan janji pendanaan iklim. Di sisi lain, mekanisme ini juga membuka peluang untuk memperkuat kontribusi nasional (NDCs) jika didukung oleh tata kelola keuangan yang lebih adil dan kolaboratif. Artikel ini merekomendasikan agar reformasi struktural dalam tata kelola utang dan penguatan posisi tawar negara berkembang menjadi agenda prioritas dalam kerangka diplomasi iklim global.
Copyrights © 2025