Artikel ini mengulas konflik perdagangan antara Cina dan Amerika Serikat dari sudut pandang sosiologi hukum, dengan memakai teori konflik dari Karl Marx sebagai pendekatan utama. Perang dagang ini tidak hanya soal persaingan ekonomi, tetapi juga mencerminkan perebutan pengaruh dan kekuasaan antara dua negara besar. Kebijakan seperti kenaikan tarif, pembatasan teknologi, dan sanksi ekonomi digunakan sebagai alat negara untuk menjaga dan memperluas dominasinya dalam perekonomian global. Dalam pandangan Marx, hukum bukanlah sesuatu yang netral atau berdiri di atas semua golongan. Sebaliknya, hukum dipandang sebagai alat bagi kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan kepentingannya. Dalam konteks perang dagang, hukum baik yang dibuat di tingkat nasional maupun internasional sering digunakan untuk membenarkan kebijakan ekonomi-politik yang sejatinya menguntungkan kalangan elit. Amerika Serikat dan Cina, misalnya, menggunakan istilah seperti “keamanan nasional” atau “perdagangan yang adil” untuk membungkus kepentingan ekonomi mereka sendiri. Artikel ini juga menunjukkan bahwa hukum internasional sering kali tidak mampu berjalan adil. Negara-negara besar cenderung memanfaatkan celah dalam sistem hukum global untuk mempertahankan posisi dominan mereka. Sementara itu, negara berkembang dan kelompok masyarakat kecil, terutama kelas pekerja, justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Dampaknya bisa terlihat dari harga barang yang naik, hilangnya lapangan kerja, dan kondisi ekonomi yang makin tidak pasti.
Copyrights © 2025