Bullying baik secara fisik, verbal, maupun daring adalah fenomena global yang masih sangat memprihatinkan. Data UNESCO menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga siswa usia 13–15 tahun mengalami bullying di sekolah. Studi termutakhir juga mengindikasikan bahwa sebanyak 30,5 % remaja dari 83 negara mengaku pernah menjadi sasaran bullying . Riset TIMSS (2023) menambah kekhawatiran: laporan bullying meningkat dari 45 % ke 56 % pada siswa kelas 4, dan dari 60 % ke 64 % untuk siswa kelas 8 . Bullying memiliki implikasi serius terhadap kesehatan mental: di Amerika Serikat, 34 % remaja mengalami bullying dalam rentang Juli 2021–Desember 2023, dan mereka yang menjadi korban hampir dua kali lebih mungkin mengalami kecemasan (29,8 %) dan depresi (28,5 %) dibanding yang tidak di-bully . Selain itu, meta-analisis global mengungkap bahwa lebih dari 1 dari 5 anak dan remaja—sekitar 24 %—mengalami kekerasan (termasuk bullying) selama pandemi COVID-19 . Keberlanjutan dampak tersebut merefleksikan kebutuhan intervensi yang inovatif dan menyeluruh. Dalam konteks ini, integrasi teori komunikasi positif seperti Nonviolent Communication (Rosenberg, 2003) dengan wisata edukasi (Yoeti, 2016) menawarkan pendekatan yang berpotensi efektif untuk membentuk karakter anti-bullying pada anak usia sekolah dasar. Artikel pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk membangun karakter anti-bullying pada siswa SDN Sindangsari 2 melalui penggunaan media komunikasi interaktif dan pendekatan wisata edukasi kreatif. Metode meliputi sosialisasi, permainan simulasi, dan kunjungan edukatif berbasis kerjasama. Hasil yang diharapkan antara lain peningkatan pemahaman siswa terhadap bullying, kemampuan berkomunikasi secara positif, dan tumbuhnya rasa empati serta solidaritas antarteman.
Copyrights © 2025